Mata Kuliah Dosen
Pembimbing
Agama 1 (Aqidah) Arif Marsal, Lc.,M.A
ALIRAN SAMPALAN DARI AQIDAH
ISLAM
Disusun oleh:
· Resna Dina
· Siti Meysarah Amir
· Sherly Rahmatul Husna
FAKULTAS
SAINS DAN TEKNOLOGI
JURUSAN
TEKNIK INFORMATIKA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGRI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
1.
SYIAH
A.
Pengertian
Syi’ah (Bahasa Arab: شيعة, Bahasa Persia: شیعه)
ialah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Secara
umum, Syi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama
seperti juga Sunni menolak
Imam dari Imam Syi'ah. Syi'ah Zaidiyyah, termasuk Syi'ah yang tidak menolak
kepemimpinan tiga Khalifah sebelum
Khalifah Ali bin Abu Thalib. Syi'ah adalah bentuk tunggal, sedangkan bentuk
jamak-nya adalah "Syiya'an" (شِيَعًا). Syī`ī
(Bahasa Arab: شيعي.) menunjuk kepada pengikut dari Ahlul
Bait dan Imam Ali. Secara
garis besarnya, sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan
10% menganut aliran Syi'ah.[1]
Istilah Syi'ah
berasal dari Bahasa
Arab (شيعة)
"Syī`ah". Lafadz ini merupakan bentuk tunggal, sedangkan bentuk
pluralnya adalah "Syiya'an". Pengikut Syi'ah disebut
"Syī`ī" (شيعي). "Syi'ah" adalah bentuk pendek
dari kalimat bersejarah "Syi`ah `Ali" (شيعة علي)
yang berarti "pengikut Ali", yang berkenaan dengan turunnya Q.S. Al-Bayyinah ayat
"khair al-bariyyah", saat turunnya ayat itu Nabi Muhammad bersabda,
"Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung - ya
'Ali anta wa syi'atuka hum al-faizun".[2]
Kata "Syi'ah" menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Pembela dan
pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Kaum yang berkumpul atas suatu
perkara.[3]
Adapun
menurut terminologi Islam, kata ini bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib adalah
yang paling utama di antara para sahabat dan
yang berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan atas kaum Muslim, demikian pula
anak cucunya[4].
Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan
bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga
mengalami perpecahan.
B.
Latar belakang muncul Syi’ah
Para pembela sayyidina Ali pada awal nya disebut “Syi’ah Ali” atau
pengikut Ali, kemudian istilah itu berubah menjadi syi’ah saja. Sebenarnya
cikal bakal Syi’ah sebenernya sudah ada sejak masa nabi. Mereka adalah keluarga
nabi, Bani hasyim, dan sahabat-sahabat Nabi yang selalu bersama Ali. Mereka
dikenal sebagai sahabat-sahabat utama Nabi dan pelopor segala kebaikan. Ketika Nabi
wafat, kaum muhajirin -tanpa melibatkan ali dan bani hasyim- dan kaum anshar
mengadakan pemilihan khalifah pengganti Nabi di Saqifah Bani Sa’idah, semacam
gedung DPR jahiliah yang sudah di tinggalkan sejak kedatangan islam.
kesepakatan yang lonjong
mereka memilih abu bakar shiddiq, yang kemudian beramai-ramai pergi kemesjid
Nabi untuk mengumumkan kekhalifahannya. Tetu saja ali, tokoh tokoh bani hasyim,
dan sahabat-sahabat. ali sangat kaget atas peritiwa itu. Mereka tidak segera
memberikan bai’atnya kepada abu bakar , karena pemilihannya dinilai tidak
aspiratif. Ali kemudian berusaha meyakinkan tokoh-tokoh utama sahabati Nabi, dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
Untuk mendukung kekhalifahan dirinya. Tapi, Ali hanya bisa menghimpun kurang
dari 40 orang tokoh, karena dari sebagian mereka sudah memberikan Bai’atnya
kepada Abu Bakar , Abu Shafyan, tokoh utama Bani umaiyah saat itu,datang menghampiri Ali dan
menyatakan kesanggupannnyamemberikan
dukungan material dan militer. Tapi Ali menolak dukungannya, sambil
mengatakan:”Anda memang tukang membuat kerusuhan sejak masa Nabi hingga sekarang!”
Ali tidak butuh dukungan dari orang semacam Abu Shafyan, tetapi dari
orang-orang terbaik didikan Nabi. Kaum Syi’ah lebih menguat lagi ketika
pemilihan khalifah ketiga pengganti Umar. Ali mendapat dukungan sama kuat
dengan Ustman. Demikian kata Abdurrahman bin Auf, Sepupu ustman, sang pemilik
hak veto dalam memilih khalifah ketiga. Dengan kejujurannya, Abdurrahman
mengungkapkan bahwa rakyat memilih Ali.
itu ia meminta Ali tampil
kedepan untuk dilantik menjadi khalifah, dengan syarat-syarat yang dibacakan
oleh dirinya. Hingga tiga kali, Ali hanya menyanggupi dua syarat, yaitu
mengikuti kitabullah dan sunnah Rasul. Ali mengganti syarat ketiga, yaitu mengikuti
khalifah Abu Bakar dan Umar, dengan “mengikuti ra’yuku”. Utsman kemudian
dipanggil kedepan untuk dilantik dengan syarat-syarat membacakan sebagaimana
yang diminta kepada Ali. Utsman kemudian membacakannya, lalu ia pun dilantik
oleh Abdurrahman bin Auf sebagai khaliah ketiga. Dalam peristiwa ini dalam
peristiwa ini kaum Syi’ah mulai Nampak.mereka memprotes Abdurrahman yang tidak
mengindahkan Ali. Pada pemilihan khalifah keempat, hamper seluruh tokoh
Muhajirin dan Anshar (ribuan orang) bersepakat memilih Ali sebagai khalifah,
kecuali bebebrapa orang saja yang netral. Ali pun menghormati mereka yang
netral. Ali kemudian memindahkan ibu kota islam dari Madinah ke
Kufah(sekarang:selah Baghdad). Dan dari sinilah memang para pendukung Ali.
Dalam masa ke khalifahannya yang singkat, hamper lima tahun, pemerintahan Ali
digoncang oleh peperangan saudara, sebagaimana telah disebutkan dalam bagian
terdahulu. Peperangan inilah yang justru cukup mengkristalkan kaum Syi’ah dari
bukan Syi’ah. Dengan kata lain, seluruh peperangan saudara dimasa ke khalifahan
Ali merupakan seleksi untuk memilah, manakah pengikut Ali yang Syi’ah dan yang
mana pula yang bukan syiah.
Seleksi terakhir apakah
seseorang itu Syi’ah atau bukan Syi’ahadalah pasca kekhalifahan Ali. Mereka
yang benar-benar mndukung hasan bin Ali sebagai khalifahlah yang benar syi’ah.
C.
Penyebaran Syi’ah
Menurut sebagian ahli sejarah madzhab ini disebarkan pertama kali
oleh Abdullah bin Saba yaitu seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam, dan
hamper dibunuh oleh Ali[5].
Dr. Fuad Mohammad Fachruddin membagi Syi'ah menjadi 4 macam
aliran :
- Ekstrimis
(al-Ghulatiyyah), sekarang sudah tidak ada lagi.
- Isma’iliyah dan cabang-cabangnya,. Tersebar di
India, Pakistan, Afrika Utara , Eropa dan Amerika.
- Zaidiyyah,
Tersebar di Yaman dan sekitarnya.
- 12 Imam (Itsna
'Asyariyyah/Imamiyyah), Syi'ah yang paling banyak mempunyai pengikut di
dunia tersebar di Iran,
Irak, Lebanon, India, Pakistan dan bahkan di Arab Saudi serta negara-negara
Teluk. Diperkirakan pengikutnya sekitar 120 juta orang[6]
.
Pendapat-pendapat mereka :
- Mengkafirkan
sahabat Nabi yang tidak mendukung Ali (kecuali Syiah Zaidiyah sekarang-pen)
- Kepemimpinan
(Imamah) merupakan satu dari beberapa pokok keimanan.
- Memandang
Imam Itu ma'shum (orang suci)
- Wajib adanya
Imam yang tersembunyi (Al-Imam Al- Mastur)
- Al-Quran yang sekarang mengalami perubahan dan pengurangan,
sedangkan yang asli berada di tangan Al-Imam Al-Mastur (Syi'ah
Imamiyah)
- Tidak
mengamalkan hadits kecuali dari jalur keluarga Nabi Muhammad (Ahli Bait),
(kecuali
madzhab Zaidiyyah-pen)
-
Memperbolehkan taqiyah
- Tidak menerima ijma dan qiyas (kecuali madzhab
Zaidiyyah-pen)
- Wajib sujud
di atas tanah atau batu (Syi'ah Imamiyah)
-
Memperbolehkan nikah mut'ah (Syi'ah Imamiyah)
- Tidak
melakukan shalat Jumat karena Imam yang asli tidak ada (Syi'ah Imamiyah)
D.
Aliran-aliran dan cabang Syi’ah
Pada masa hidupnya Imam Ali a.s., Imam Hasan
a.s. dan Imam Husein a.s. tidak terjadi perpecahan dalam tubuh mazhab Syi’ah.
Setelah Imam Husein a.s. syahid, mayoritas pengikut Syi’ah menjadikan Imam Ali
As-Sajjad a.s. sebagai imam keempat dan kelompok minoritas yang dikenal dengan
sebutan “Kaisaniyah” menjadikan putra ketiga Imam Ali a.s. yang bernama
Muhammad bin Hanafiah sebagai imam keempat dan mereka meyakini bahwa ia adalah
Imam Mahdi a.s. yang ghaib di gunung Ridhawi. Di akhir zaman ia akan muncul
kembali.
Setelah
Imam Sajjad a.s. syahid, mayoritas pengikut Syi’ah mengakui Imam Baqir a.s.,
putranya sebagai imam Syi’ah dan kelompok minoritas meyakini Zaid, putranya
yang lain sebagai penggantinya. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama
Syi’ah Zaidiyah.
Pasca
syahadah Imam Baqir a.s., para pengikut Syi’ah menjadikan Imam Ja’far
Ash-Shadiq a.s., putranya sebagai imam keenam Syi’ah. Dan setelah Imam Shadiq
a.s. syahid, para pengikut Syi’ah terpecah menjadi lima golongan:
a. Mayoritas pengikut Syi’ah yang
meyakini Imam Musa Al-Kazhim a.s., putranya sebagai imam Syi’ah yang ketujuh.
b. Kelompok kedua menjadikan putra
sulungnya yang bernama Ismail sebagai imam Syi’ah yang ketujuh. Kelompok
ini akhirnya dikenal dengan nama “Syi’ah Ismailiyah”.
c. Kelompok ketiga menjadikan putranya
yang bernama Abdullah Al-Afthah sebagai imam Syi’ah yang ketujuh. Kelompok ini
akhirnya dikenal dengan nama “Syi’ah Fathahiyah”.
d. Kelompok keempat menjadikan putranya
yang bernama Muhammad sebagai imam Syi’ah yang ketujuh.
e. Kelompok kelima menganggap bahwa Imam
Shadiq a.s. adalah imam Syi’ah terakhir dan tidak ada imam lagi sepeningalnya.
Setelah
Imam Musa Al-Kazhim a.s. syahid, mayoritas pengikut Syi’ah meyakini Imam Ridha
as., putranya sebagai imam Syi’ah yang kedelapan dan kelompok minoritas dari
mereka mengingkari imamahnya dan menjadikan Imam Kazhim a.s. sebagai imam
Syi’ah terakhir. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama “Syi’ah Waqifiyah”.
Setelah
Imam Ridha a.s. syahid hingga lahirnya Imam Mahdi a.s., di dalam tubuh Syi’ah
tidak terjadi perpecahan yang berarti. Jika terjadi perpecahan pun, itu hanya
berlangsung beberapa hari dan setelah itu sirna dengan sendirinya. Seperti
peristiwa Ja’far bin Imam Ali Al-Hadi a.s., saudara Imam Hasan Al-Askari a.s.
yang mengaku dirinya sebagai imam Syi’ah setelah saudaranya syahid.
Semua
kelompok dan aliran cabang di atas telah sirna dengan bergulirnya masa kecuali
tiga aliran yang hingga sekarang masih memiliki pengikut yang tidak sedikit.
Tiga aliran Syi’ah tersebut adalah Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Ismailiyah dan
Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah.
a.Syi’ah Zaidiyah
Zaidiyah adalah
para pengikut Zaid bin Ali As-Sajjad a.s. Pada tahun 121 H., ia mengadakan
pemberontakan terhadap Hisyam bin Abdul Malik, salah seorang khalifah dinasti
Bani Umaiyah. Sebagian masyarakat berbai’at dengannya dan ketika terjadi
peperangan di Kufah antara kelompoknya dan tentara penguasa, ia syahid. Ia
dianggap sebagai imam Syi’ah yang kelima oleh para pengikutnya. Setelah ia
syahid, putranya yang bernama Yahya menggantikan keududukannya. Yahya sempat
mengadakan pemberontakan terhadap Walid bin Yazid. Setelah ia meninggal dunia,
Muhammad bin Abdullah dan Ibrahim bin Abdullah menggantikan kedudukannya
sebagai imam Syi’ah. Mereka sempat mengadakan pemberontakan terhadap Manshur
Dawaniqi, salah seorang khalifah dinasti Bani Abasiyah dan terbunuh dalam
sebuah peperangan.
Setelah mereka
terbunuh, Zaidiyah menjalani masa-masa kritis yang hampir menyebabkan kelompok
ini punah. Pada tahun 250-320 H., Nashir Uthrush, salah seorang anak cucu
saudara Zaid bin Ali, mengadakan pemberontakan terhadap penguasa Khurasan.
Karena dikejar-kejar oleh pihak penguasa yang berusaha untuk membunuhnya, ia
melarikan diri ke Mazandaran yang hingga saat itu penduduknya belum memeluk
agama Islam. Setelah 13 tahun bertabligh, ia akhirnya dapat mengislamkan
mayoritas penduduk Mazandaran dan menjadikan mereka penganut mazhab Syi’ah Zaidiyah.
Dengan bantuan mereka, ia dapat menaklukkan Thabaristan dan daerah itu menjadi
pusat bagi kegiatan Syi’ah Zaidiyah.
Menurut
keyakinan mazhab Zaidiyah, setiap orang yang berasal dari keturunan Fathimah
Az-Zahra` a.s., alim, zahid, dermawan dan pemberani untuk menentang segala
manifetasi kelaliman, bisa menjadi imam. Syi’ah Zaidiyah menggabungkan dua
ajaran dalam mazhabnya. Dalam bidang ushuluddin ia menganut paham Mu’tazilah
dan dalam bidang furu’uddin ia menganut paham Hanafiah.
b. Syi’ah Ismailiyah dan Aliran-aliran
Cabangnya
· Bathiniyah
Imam Shadiq
a.s. mempunyai seorang putra sulung yang bernama Ismail. Ia meninggal dunia
ketika ayahnya masih hidup. Imam Shadiq a.s. mempersaksikan kepada seluruh
khalayak bahwa putranya yang bernama Islma’il telah meninggal dunia. Ia pun
telah mengundang gubernur Madinah kala itu untuk menjadi saksi bahwa putranya
itu telah meninggal dunia. Meskipun demikian, sebagian orang meyakini bahwa ia
tidak meninggal dunia. Ia ghaib dan akan muncul kembali. Ia adalah Imam Mahdi
a.s. yang sedang dinanti-nantikan kedatangannya. Mereka meyakini bahwa
persaksian Imam Shadiq a.s. di atas hanyalah sebuah taktik yang dilakukannya
untuk mengelabuhi Manshur Dawaniqi karena khawatir ia akan membunuhnya.
Sebagian
kelompok meyakini bahwa imamah adalah hak mutlak Ismail yang setelah
kematiannya, hak itu berpindah kepada putranya yang bernama Muhammad. Akan
tetapi, sebagian kelompok yang lain meyakini bahwa meskipun Ismail telah
meninggal dunia ketika ayahnya hidup, ia adalah imam yang harus ditaati.
Setelah masanya berlalu, imamah itu berpindah kepada putranya yang bernama
Muhammad bin Ismail dan akan diteruskan oleh para anak cucunya.
Dua kelompok
pertama telah punah ditelan masa. Kelompok ketiga hingga sekarang masih
memiliki pengikut dan mengalami perpecahan internal juga.
Secara global,
Ismailiyah memiliki ajaran-ajaran filsafat yang mirip dengan filsafat para
penyembah bintang dan dicampuri oleh ajaran irfan India. Mereka meyakini bahwa
setiap hukum Islam memiliki sisi lahiriah dan sisi batiniah. Sisi lahiriah
hukum hanya dikhususkan bagi orang-orang awam yang belum berhasil sampai kepada
strata spiritual yang tinggi. Oleh karena itu, mereka harus melaksanakan hukum
tersebut dengan praktik rutin sehari-hari.
Mereka juga
meyakini bahwa hujjah Allah ada dua macam: nathiq (berbicara) dan shaamit
(diam). Hujjah yang pertama adalah Rasulullah SAWW dan hujjah yang kedua
adalah imam sebagai washinya.
Bumi ini tidak
akan pernah kosong dari hujjah Allah, dan hujjah tersebut selalu berjumlah 7 orang.
Ketika seorang nabi diutus, ia akan memiliki syari’at dan wilayah. Setelah ia
meninggal dunia, tujuh washi datang silih berganti untuk meneruskan
ajarannya. Ketujuh washi tersebut memiliki kedudukan yang sama, yaitu kewashian
kecuali washi terakhir. Ia memiliki tiga kedudukan sekaligus: kenabian,
kewashian dan wilayah. Dan begitulah seterusnya, setelah washi
ketujuh meninggal dunia, ia akan memiliki tujuh orang washi dan washinya
yang ketujuh memiliki tiga kedudukan di atas sekaligus.
Menurut
keyakinan mereka, Nabi Adam a.s. diutus dengan mengemban kenabian dan wilayah.
Setelah meninggal dunia, ia memiliki tujuh orang washi. Washinya
yang ketujuh adalah Nabi Nuh a.s. yang memiliki kedudukan kenabian, kewashian
dan wilayah. Nabi Ibrahim a.s. adalah washi ketujuh Nabi Nuh a.s., Nabi
Musa a.s. adalah washi ketujuh Nabi Ibrahim a.s., Nabi Isa a.s. adalah washi
ketujuh Nabi Musa a.s., Muhammad bin Ismail adalah washi ketujuh
Rasulullah SAWW (Imam Ali a.s., Imam Husein a.s., Imam Sajjad a.s., Imam Baqir
a.s., Imam Shadiq a.s., Ismail dan Muhammad bin Ismail). Setelah Muhammad bin
Ismail, terdapat tujuh orang washi yang nama dan identitas mereka tidak
diketahui oleh siapa pun. Dan setelah masa tujuh orang washi tak dikenal
itu berlalu, terdapat tujuh orang washi lagi. Mereka adalah tujuh raja
pertama dinasti Fathimiyah di Mesir. Raja pertama adalah Ubaidillah Al-Mahdi.
Mereka juga
meyakini bahwa di samping hujjah-hujjah Allah tersebut, terdapat dua belas
orang nuqaba`. Mereka adalah para sahabat pilihan hujjah-hujjah Allah
tersebut. Akan tetapi, sebagian aliran cabang Ismailiyah yang bernama
Bathiniyah (Duruziyah) meyakini bahwa enam orang dari dua belas nuqaba` tersebut
adalah para imam dan enam yang lainnya adalah selain imam.
Pada tahun 278
H., beberapa tahun sebelum Ubaidillah Al-Mahdi berkuasa di benua Afrika,
seorang misterius yang berasal dari Khuzestan, Iran dan tidak pernah
menyebutkan identitas dirinya muncul di Kufah. Di siang hari ia selalu berpuasa
dan di malam hari ia selalu beribadah. Ia tidak pernah meminta bantuan dari
orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia mengajak masyarakat setempat
untuk menganut mazhab Ismailiyah dan mereka menjawab ajakannya. Kemudian ia
memilih dua belas orang di antara pengikutnya sebagai nuqaba`. Setelah
itu, ia keluar dari Kufah untuk menuju ke Syam dan tidak lama kemudian ia
menghilang.
Setelah orang
tak dikenal itu menghilang, ada seseorang yang bernama Ahmad dan dikenal dengan
julukan Qirmith menggantikan kedudukannya untuk menyebarkan ajaran-ajaran
Bathiniyah. Para sejarawan mengatakan bahwa ia menciptakan shalat baru sebagai
ganti dari shalat lima waktu yang telah ditetapkan oleh Islam, menghapus mandi
jenabah dan menghalalkan khamer. Para pemimpin Bathiniyah mengajak masyarakat
untuk memberontak terhadap para penguasa waktu itu.
Para pengikut
Bathiniyah ini menganggap halal darah orang-orang yang tidak mengikuti ajaran
Bathiniyah. Atas dasar keyakinan ini, mereka pernah mengadakan pembunuhan dan
perampokan besar-besaran di Irak, Bahrain, Yaman dan kota-kota sekitar. Sering
kali mereka merampok kafilah haji yang sedang menuju Makkah dan membunuh semua
orang yang ada di kafilah tersebut.
Abu Thahir
Al-Qirmithi, salah seorang pemimpin Bathiniyah menaklukkan Bashrah pada tahun
311 H. dan ia membunuh penduduk secara besar-besaran serta merampok semua harta
yang mereka miliki. Pada tahun 317 H., ia bersama para pengikut Bathiniyah
pergi ke Makkah dan setelah terjadi pertempuran kecil antara mereka dan pasukan
keamanan pemerintahan setempat, mereka dapat mengalahkan pasukan tersebut dan
berhasil memasuki kota suci Makkah. Begitu memasuki kota Makkah, semua jenis
pembunuhan dan perampokan mereka lakukan. Masjidil Haram pun sudah tidak
memiliki arti bagi mereka. Dari dalam masjid suci tersebut darah mengalir bak
air mengalir di dalam parit. Kain penutup Ka’bah mereka robek-robek dan
dibagikan di antara mereka sendiri. Tidak hanya sampai di situ, pintu Ka’bah
mereka hancurkan dan Hajar Aswad mereka bawa ke Yaman. Hajar Aswad berada di
tangan Qaramithah selama 22 tahun.
Karena perilaku
mereka yang asusila dan menentang agama, mayoritas pengikut Bathiniyah yang
lain menganggap kelompok ini telah keluar dari agama Islam. Ubaidillah Al-Mahdi
sendiri yang waktu itu adalah khalifah pertama dinasti Fathimiyah di Mesir,
pemimpin mazhab Ismailiyah dan menganggap dirinya adalah Imam Mahdi a.s. yang
telah dijanjikan oleh hadis-hadis mutawatir, menyatakan tidak ikut campur
tangan berkenaan dengan mazhab Qaramithah.
· Nazzariyah dan Musta’liyah
Ubaidillah
Al-Mahdi berkuasa di benua Afrika (tepatnya di Mesir) pada tahun 296 H. dan ia
adalah pendiri dinasti Fathimiyah. Mazhab yang dianutnya adalah Syi’ah
Ismailiyah. Setelah ia meninggal dunia, tujuh orang dari keturunannya
meneruskan dinastinya tanpa terjadi perpecahan di dalam tubuh mazhab
Ismailiyah. Perpecahan di dalam tubuh mazhab Ismailiyah terjadi setelah raja
ketujuh dinasti Fathimiyah, Mustanshir Billah Sa’d bin Ali meninggal dunia. Ia
memiliki dua orang putra yang masing-masing bernama Nazzar dan Musta’li.
Setelah ayah mereka meninggal dunia, terjadi persengketaan di antara kakak dan
adik tersebut berkenaan dengan urusan khilafah. Setelah terjadi peperangan di
antara mereka yang memakan banyak korban, Musta’li dapat mengalahkan Nazzar. Ia
mengangkap Nazzar dan menghukumnya hingga ajal menjemputnya.
Setelah
persengketaan tersebut, dinasti Fathimiyah yang bermazhab Ismailiyah terpecah
menjadi dua golongan: Nazzariyah dann Musta’liyah.
- Nazzariyah adalah para
pengikut Hasan Ash-Shabaah, seseorang yang pernah memiliki hubungan dekat
dengan Mustanshir Billah. Setelah Mustanshir Billah meninggal dunia, ia diusir
dari Mesir oleh Musta’li karena dukungannya terhadap Nazzar. Ia lari ke Iran,
dan akhirnya muncul di benteng “Al-Maut” yang berada di sebuah daerah dekat
kota Qazvin. Ia berhasil menaklukkan benteng tersebut dan benteng-benteng yang
berada di sekitarnya. Kemudian, ia memerintah di situ. Sejak pertama kali
memerintah, ia mengajak penduduk sekitar untuk menghidupkan kembali nama baik
Nazzar dan mengikuti ajaran-ajarannya.
Setelah Hasan
Ash-Shabaah meninggal dunia pada tahun 518 H., Buzurg Oumid Rudbari
menggantikan kedudukannya dan setalah ia meninggal dunia, putranya yang bernama
Kiyaa Muhammad mengganti kedudukannya. Keduanya memerintah dengan mengikuti
cara dan metode Hasan Ash-Shabaah. Sepeninggal Kiyaa Muhammad, putranya yang
bernama Hasan Ali Dzikruhus Salam menggantikan kedudukannya. Ia menghapus semua
cara dan ajaran Hasan Ash-Shabaah dan mengikuti ajaran-ajaran aliran
Bathiniyah.
Hal ini terus
berjalan lancar hingga Holaku Khan dari dinasti Mongol menyerang Iran. Ia
berhasil menguasai semua benteng pertahanan mazhab Ismailiyah dan
menyamaratakannya dengan tanah. Setelah peristiwa itu berlalu, Aqa Khan
Mahallati yang bermazhab Nazzariyah memberontak terhadap Qajar Syah. Di sebuah
pertempuran yang terjadi di Kerman, ia kalah dan melarikan diri ke Bombay,
India. Setelah sampai di Bombay, ia mulai menyebarkan ajaran-ajaran Nazzariyah.
Ajaran-ajarannya sampai sekarang masih diikuti oleh penduduk di sana. Dengan
ini, aliran Nazzariyah juga dikenal dengan sebutan “Aqa-khaniyah”.
- Musta’liyah adalah para
pengikut Musta’li, salah seorang raja dinasti Fathimiyah yang pernah berkuasa
di Mesir. Aliran ini akhirnya musnah pada tahun 557 H. Setelah beberapa tahun
berlalu, sebuah aliran baru muncul di India yang bernama “Buhreh” (Buhreh
adalah bahasa Gujarat yang berarti pedagang) dan meneruskan ajaran-ajaran
Musta’liyah yang hingga sekarang masih memiliki pengikut.
·
Duruziyah
Pada mulanya
Duruziyah adalah para pengikut setia para kahlifah dinasti Fathimiyah. Akan
tetapi, ketika Khalifah keenam dinasti Fathimiyah memegang tampuk kekuasaan,
atas ajakan Neshtegin Duruzi mereka memeluk aliran Bathiniyah. Mereka meyakini
bahwa Al-Hakim Billah ghaib dan naik ke atas langit. Ia akan muncul kembali di
tengah-tengah masyarakat.
· Muqanni’iyah
Pada mulanya
Muqanni’iyah adalah pengikut ‘Atha` Al-Marvi yang lebih dikenal dengan sebutan Muqanni’.
Ia adalah salah seorang pengikut Abu Muslim Al-Khurasani. Setelah Abu Muslim
meninggal dunia, ia mengaku bahwa ruhnya menjelma dalam dirinya. Tidak lama
setelah itu, ia mengaku nabi dan kemudian mengaku dirinya Tuhan. Pada tahun 163
H., ia dikepung di benteng Kish yang berada di salah satu negara-negara Maa
Wara`annahr. Karena yakin dirinya akan tertangkap dan akhirnya terbunuh, ia
menyalakan api unggun lalu terjun ke dalamnya bersama beberapa orang
pengikutnya. Para pengikutnya akhirnya menganut mazhab Ismailiyah yang
beraliran faham Bathiniyah.
c. Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah
Mayoritas
Syi’ah adalah Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah. Seperti yang telah disinggung di
atas, mazhab ini memisahkan diri dari mayoritas muslimin setelah Rasulullah
SAWW meniggal dunia dikarenakan dua faktor urgen yang tidak diindahkan oleh
mayoritas muslimin kala itu. Dua faktor urgen tersebut adalah imamah
(kepemimpinan) dan kewajiban untuk merujuk kepada Ahlul Bayt a.s. dalam segala
bidang ilmu pengetahuan.
Mereka meyakini
bahwa Rasulullah SAWW adalah penutup semua nabi dan para imam a.s. tersebut
--berdasarkan hadis-hadis mutawatir yang disabdakan olehnya-- berjumlah dua
belas orang, tidak lebih dan tidak kurang.
Mereka juga
meyakini bahwa Al Quran mencakup semua hukum yang diperlukan oleh kehidupan
manusia dan hukum-hukum tersebut tidak akan pernah mengalami perubahan dan
renovasi. Bahkan hukum-hukum tersebut adalah kekal dan abadi hingga hari
kiamat.
Dari sini dapat
diketahui perbedaan mendasar antara Syi’ah Imamiah, Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah
Ismailiyah. Syi’ah Zaidiyah meyakini bahwa imamah bukanlah hak prerogatif Ahlul
Bayt a.s. dan para imam tidak berjumlah dua belas orang serta mereka tidak
mengikuti fiqih Ahlul Bayt a.s. Sementara, Syi’ah Ismailiyah meyakini bahwa
para imam berjumlah tujuh orang, Rasulullah SAWW bukanlah penutup para nabi dan
hukum-hukum syari’at bisa dirubah. Bahkan menurut keyakinan Bathiniyah
kewajiban manusia sebagai makhluk Allah (taklif) bisa dihapus total.
E.
Kesesatan Syi’ah
Di kalangan Syiah, terkenal klaim 12 Imam atau
sering pula disebut “Ahlul Bait” Rasulullah Muhammad saw; Diantara nya :
- Ali bin
Abi Thalib
(600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
- Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
- Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain
asy-Syahid
- Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal
Abidin
- Muhammad
bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad
al-Baqir
- Jafar bin
Muhammad (703–765), juga dikenal dengan Ja'far
ash-Shadiq
- Musa bin
Ja'far (745–799), juga dikenal dengan Musa
al-Kadzim
- Ali bin
Musa (765–818), juga dikenal dengan Ali
ar-Ridha
- Muhammad
bin Ali (810–835), juga dikenal dengan Muhammad
al-Jawad
atau Muhammad at Taqi
- Ali bin
Muhammad (827–868), juga dikenal dengan Ali
al-Hadi
- Hasan bin
Ali (846–874), juga dikenal dengan Hasan
al-Askari
- Muhammad
bin Hasan (868—), juga dikenal dengan Muhammad
al-Mahdi
penganutnya
mendakwa hanya dirinya atau golongannya yang mencintai dan mengikuti Ahlul
Bait. Klaim ini tentu saja ampuh dalam mengelabui kaum Ahli Sunnah, yang dalam
ajaran agamanya, diperintahkan untuk mencintai dan menjungjung tinggi Ahlul
Bait. Padahal para imam Ahlul Bait berlepas diri dari tuduhan dan anggapan
mereka. Tokoh-tokoh Ahlul Bait (Alawiyyin) bahkan sangat gigih dalam memerangi
faham Syi’ah, seperti mantan Mufti Kerajaan Johor Bahru, Sayyid Alwi bin Thahir
Al-Haddad, dalam bukunya “Uqud Al-Almas.”
Adapun beberapa kesesatan Syiah yang telah
nyata adalah:
- Keyakinan bahwa Imam sesudah Rasulullah
saw. Adalah Ali bin Abi Thalib, sesuai dengan sabda Nabi saw. Karena itu
para Khalifah dituduh merampok kepemimpinan dari tangan Ali bin Abi Thalib
r.a.
- Keyakinan bahwa Imam mereka maksum
(terjaga dari salah dan dosa).
- Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan
para Imam yang telah wafat akan hidup kembali sebelum hari kiamat untuk
membalas dendam kepada lawan-lawannya, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman,
Aisyah dll.
- Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan
para Imam mengetahui rahasia ghaib, baik yang lalu maupun yang akan
datang. Ini berarti sama dengan menuhankan Ali dan Imam.
5.
Keyakinan
tentang ketuhanan Ali bin Abi Thalib yang dideklarasikan oleh para pengikut
Abdullah bin Saba’ dan akhirnya mereka dihukum bakar oleh Ali bin Abi Thalib
sendiri karena keyakinan tersebut.
- Keyakinan mengutamakan Ali bin Abi Thalib
atas Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Padahal Ali sendiri mengambil tindakan
hukum cambuk 80 kali terhadap orang yang meyakini kebohongan tersebut.
- Keyakinan mencaci maki ara sahabat atau
sebagian sahabat seperti Utsman bin Affan (lihat Dirasat fil Ahwaa’ wal
Firaq wal Bida’ wa Mauqifus Salaf minhaa, Dr. Nashir bin Abd. Karim Al
Aql, hal.237).
- Pada abad kedua Hijriah perkembangan
keyakinan Syi’ah semakin menjadi-jadi sebagai aliran yang mempunyai
berbagai perangkat keyakinan baku dan terus berkembang sampai berdirinya
dinasti Fathimiyyah di Mesir dan dinasti Sofawiyyah di Iran. Terakhir
aliran tersebut terangkat kembali dengan revolusi Khomaeni dan dijadikan
sebagai aliran resmi negara Iran sejak 1979.
Saat ini
figur-figur Syiah begitu terkenal dan banyak dikagumi oleh generasi muda Islam,
karena pemikiran-pemikiran yang lebih banyak mengutamakan kajian logika dan
filsafat. Namun, semua jamaah Sunnah wal Jamaah di seluruh dunia, sudah
bersepakat adanya bahwa Syiah adalah salah satu gerakan sesat.
1.
KHAWARIJ
A.
Pengertian
Khawārij (Arab: خوارج baca Khowaarij,
secara harfiah berarti "Mereka yang Keluar") ialah istilah umum yang
mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang
awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu
menolaknya. Pertama kali muncul pada pertengahan abad
ke-7, terpusat di daerah yang kini ada di Irak
selatan, dan merupakan bentuk yang berbeda dari Sunni dan Syi'ah. Kata
ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang
keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap
sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok
Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin ( 37H / 657 ).
Disebut
atau dinamakan Khowarij disebabkan karena keluarnya mereka dari dinul Islam dan
pemimpin kaum muslimin[7]
Awal
keluarnya mereka dari pemimpin kaum muslimin yaitu pada zaman khalifah Ali bin
Abi Thalib ketika terjadi (musyawarah) dua utusan. Mereka berkumpul disuatu
tempat yang disebut Khouro (satu tempat di daerah Kufah). Oleh sebab itulah
mereka juga disebut Al Khoruriyyah[8]
Jadi, nama khawarij bukanlah berasal dari
kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka menamakan diri dengan Syurah atau para
penjual, yaitu orang-orang yang menjual (mengorbankan) jiwa raga mereka demi
keridhaan Allah, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Baqarah : 207. Selain itu,
ada juga istilah lain yang dipredikatkan kepada mereka, seperti Haruriah,
yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura, dan Muhakkimah,
karena seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalimat “la hukma illa
lillah” (tidak ada hukum selain hukum Allah), atau “la hakama illa Allah”
(tidak ada pengantara selain Allah).
Secara historis Khawarij adalah Firqah Bathil
yang pertama muncul dalam Islam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah
dalam kitabnya Al‑Fatawa,
“Bid’ah
yang pertama muncul dalam Islam adalah bid’ah Khawarij.”
Kemudian hadits‑hadits yang berkaitan dengan
firaq dan sanadnya benar adalah hadits‑hadits yang berkaitan dengan Khawarij
sedang yang berkaitan dcngan Mu’tazilah dan Syi’ah atau yang lainnya hanya
terdapat dalam Atsar Sahabat atau hadits lemah, ini menunjukkan begitu besarnya
tingkat bahaya Khawarij dan fenomenanya yang sudah ada pada masa Rasulullah
saw. Di samping itu Khawarij masih ada sampai sekarang baik secara nama maupun
sebutan (laqob), secara nama masih terdapat di daerah Oman dan Afrika Utara
sedangkan secara laqob berada di mana‑mana. Hal seperti inilah yang membuat
pembahasan tcntang firqah Khawarij begitu sangat pentingnya apalagi buku‑buku yang
membahas masalah ini masih sangat sedikit, apalagi Rasulullah saw. menyuruh
kita agar berhati‑hati terhadap firqah ini.
B.
Latar
Belakang Munculnya khawarij
Kaum khawarij adalah orang-orang gurun yang
sangat panatik beragama tapi tanpa disertai pemahaman yang benar. Mereka berani
mengkafirkan kaum muslim lainnya yang tidak sepandangan dengan mereka. Malah,
meeka pun menghalalkan darah kaum muslimin yang tidak sealiran. Sebenernya,
kaum khawarij ini pertama kali merupakan pengikut-pengikut Ali, karena
ketertarikan mereka terutama dengan kezuhudan Ali. Mereka memang sangat
terkenal sebagai orang yang berpuasa di siang hari dan bangun di malam
hariuntuk menunaikan shalat malam dan ibadah malam lainnya. Dahi mereka
terkenal hitam, saking banyak sujudnya dan mata nya cekung karena
seringnyapuasa dan menangis. Ketika terjadi perang jamal dan perang shiffin,
kaum khawarij merupakan prajurit-prajurit Ali yang gagah berani. Ketika
Mu’awiyah mengajukan “Tahkim” dengan mengangkat musha Al-qur’an, sebagai isyarat
ajakan damai, Ali membaca gelagat Mu’awiyah dan jendral Amr bin Ash yang licik.
Ali tetap melanjutkan perangnya dan mendorong para pengikutnya untuk tetap
berperang. Tapi, karena kaum khawarij adalah orang-orang yang panatik dalam
beragama, mereka tidak membaca motif dibalik pengankatan musha itu. Mereka
memandang tindakan Mu’awiyahitu sebagai tindakan yang terpuji yang patut di
percaya. Mereka pun mendesak Ali untuk menerima tahkim. Mau tidak mau, Ali terpaksa menerima tahkim. Ali kemudian
mengajukan Abdullah bin Abbas sebagai hakimnya,
seseorang yang memang diramalkan nabi akan sangat mengerti al-qur’an. Tapi,
lagi-lagi kaum khawarij menolak Abdullah, seraya mengajukan Abu Musa Al-Asy’ari,
seorang tua yang dianggap Ali sebagai tidak mengerti politik . Lagi-lagi Ali
terpaksa menuruti kehendak kaum yang ahli beribadat itu.
Sudah dapat dipastikan, perundingan akan gagal.
Memang benar, Abu Musa meminta Amrbin Ash’, hakim dari pihak Mu’awiyah, untuk
mencopot Mua’awiyah dari jabatannya dan ia pun mencopot Ali dari jabatan
khalifah. Selesai berpidato, Amr bin Ash’ tampil menyatakanmenerima pengunduran
khaliah Ali, tapi tudak mencopot Mu’awiyah. Tentu saja Abu Musa tidak menerima
taktik licik itu, dan Ali pun melanjutkan peperanagnnya.
Atas
peristiwa itu, kaum khawarij kemudian berubah pendirian. Kini mereka mengecam
para pelaku tahkim, yang justru sebelum nya sangat diinginkannya. “kalian
semuanya telah menjadi kafir dengan menghakimkan manusia sebagai ganti
memperhakimkan Allah diantara kalian!”. Itulah kata-kata yang yang diungkapkan
para tokoh khawarij. Beberapa waktu kemudian mereka menjadi orang yang sangat
ekstrim dalam pendapat-pendapatnya dan sangat jauh melewati batas. Karena watak
mereka yang sangat keras, kini mereka menyerukan penyerangan kepada setiap
orang yang berlawanan pendapat dengan
mereka dan melakukan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah yang dzalim
(tidak sah). Dala, waktu yang lama, mereka melakukan keonaran dan pembunuhan
dimana-man hingga musnahnya para pengikut aliran ini dimasa dinasti bani
Abbasiah. Sayidina Ali pun syahid dibunuh oleh kaum khawarij.
C.
Penyebaran
Khawarij
Asy-Syihristani mendefinisikan bahwa Khawarij adalah setiap orang
yang keluar dari Imam yang berhak yang telah disepakati oleh masyarakat[9]
Kelompok Khawarij yang pertama adalah Al-Muhakkimah (Syuroh/Haruriyyah)
yaitu pengikut Ali yang memisahkan diri karena tidak setuju adanya perdamaian
antara beliau dengan Muawiyah saat perang Siffin. Mereka ini menganggap
Ali dan orang-orang yang menyetujui
perdamaian tadi adalah orang-orang kafir
dan halal
darahnya.
Kemudian Khawarij ini terpecah menjadi beberapa aliran, yang
paling besar adalah Al-Azariqoh, An-Najdah, Al-'Ajaridah, Ash-Shufriyyah,
dan Al-Ibadiyyah. Aliran terakhir ini yang paling moderat diantara
aliran Khawarij dan masih terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, Umman dan
Arabia Selatan Pendapat-pendapat mereka antara lain :
- Pelaku dosa
besar adalah kafir
- Imam boleh
dipilih dari suku apa saja asal ia sanggup menjalankannya.
- Keluar dari
Imam adalah wajib apabila Imam tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
- Orang yang tidak sepaham dengan mereka bahkan anak istrinya boleh
ditawan, dijadikan budak atau dibunuh (Al-Azariqoh) sedang menurut Al-Ibadiyah
mereka bukan mukmin dan bukan kafir, karena itu boleh bermuamalat dengan
mereka, dan membunuh mereka adalah haram.
- Anak-anak
orang kafir berada di neraka (Al- Azariqoh)
- Membatalkan
hukum rajam karena tidak ada dalam al-Quran (Al-Azariqoh)
- Surat Yusuf
bukan termasuk al-Quran karena mengandung cerita cinta (Al-'Ajaridah)
D.
Cabang dari
Aliran Khawarij
Akibat
perbedaan pendapat di antara tokoh-tokohnya, Khawarij terpecah menjadi beberapa
sekte, antara lain:
yang merupakan sekte pertama, yakni golongan yang memisahkan diri
dari 'Ali bin Abi Thalib.
Al-Muhakkimah adalah mereka yang keluar dari barisan ali ketika
berlangsung peristiwa tahkim (arbitrase) dan kemudian berkumpul disuatu tempat
yang bernama harura, bagian dari negerikufah. Pimpinan mereka diantaranya
Abdullah bin Al-Kawa, Utab bin al-A’war, Abdullah bin wahab al-Rasiby.
Al-Muhakkimah ini adalah golongan khawarij pertama yang terdiri dari pengikut
ali, merekalah yang berpendapat bahwa ali, muawwiyah, kedua pengantar-Amr ibnu
al-Ash dan Abu Musa al-Asy’ari serta semua orang yang menyetujui tahkim
(arbitrase) sebagai orang yang bersalah dan menjadi kafir.
Demikian orang yang berbuat zina menurut mereka dosa besar, kafir,
dan keluar dari islam. Begitu pula orang yang membunuh sesama manusia tanpa
sebab-sebab yang sah adalah dosa besar, keluar dari islam dan menjadi kafir.
Demikian pula dengan dosa-dosa besar lainnya, dapat mengakibatkan keluar dari
islam dan kafir.
Al-Azariqah adalah bagian dari golongan khawarij yang dapat
menyusun barisan baru yang besra dan kuatdaerah kekuasaannya terletak
diperbatsan irak dan iran. Jika muhakkimah dinisbatkan pada peristiwa tahkim,
maka nama al-Zariqah dinisbatkan pada tokohnya bernama nafi’ ibn al-Azraq, para
pengikut golongan ini, menurut al-baghdadi berjumlah lebih dari dua puluh ribu
orang. Khalifah yang pertama yang mereka pilih adalah nafi’ sendiri, dan kepadanya
mereka memberi gelar Amir al-Mu’minin. Tokoh ini kemudian wafat pada
pertempuran diirak pada tahun 686 M. (al-Syahrastani…..hlm, 118)
Sub sekte al-Zariqah ini, sikapnya lebih radikal dari al=Muhakkimah. Mereka mengubah term kafir menjadi term musyrik atau polytheis dan term yang disebut terakhir ini lebih tinggi kedudukannya daripada kufur. Keradikalan sub sekte ini antara lain terlihat pada pendapat-pendapatnya, seperti boleh membunuh anak kecil yang tak sealiran dengan mereka, menghukum anak-anak orang musyrik didalam neraka beserta orang tuanya, orang-orang yang melakukan dosa besar dan dan dosa kecil secara kontinue dapat menjadi kafir, orang yang melakukan dosa besar disebut kafir millah, keluar dari islam secara total dan kekal dalam neraka beserta orang kafir. (al-Syahrastani…..hlm,121-122)
Sub sekte al-Zariqah ini, sikapnya lebih radikal dari al=Muhakkimah. Mereka mengubah term kafir menjadi term musyrik atau polytheis dan term yang disebut terakhir ini lebih tinggi kedudukannya daripada kufur. Keradikalan sub sekte ini antara lain terlihat pada pendapat-pendapatnya, seperti boleh membunuh anak kecil yang tak sealiran dengan mereka, menghukum anak-anak orang musyrik didalam neraka beserta orang tuanya, orang-orang yang melakukan dosa besar dan dan dosa kecil secara kontinue dapat menjadi kafir, orang yang melakukan dosa besar disebut kafir millah, keluar dari islam secara total dan kekal dalam neraka beserta orang kafir. (al-Syahrastani…..hlm,121-122)
. Berlainan denga
al-Zariqah, Najdah berpendapat bahwa orang yang berdosa besar dan dapat
menjadikafir serta kekal dalam neraka hanyalah orang islam yang tak sepaham
dengan golongannya. Sedangkan pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, betul
akan mendapatkan balasan siksa, tetapi bukan dalam neraka dan kemudian akan
masuk surga.
Seterusnya mereka berpendapat bahwa yang diwajibkan bagi setiap orang islam ialah mengetahui Allah dan Rasul-Nya, mengetahui haram membunuh orang islam dan percaya kepada seluruh apa yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya itu. Orang yang tidak mengetahui semua ini tidak dapat diampuni dosanya.
Seterusnya mereka berpendapat bahwa yang diwajibkan bagi setiap orang islam ialah mengetahui Allah dan Rasul-Nya, mengetahui haram membunuh orang islam dan percaya kepada seluruh apa yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya itu. Orang yang tidak mengetahui semua ini tidak dapat diampuni dosanya.
- Sekte al-Ajaridah
Dipimpin 'Abd
Karim bin Ajrad,
yang dalam perkembangannya terpecah menjadi beberapa kelompok kecil seperti Syu'aibiyyah, Hamziyyah, Hazimiyyah, Maimuniyyah, dll.
Perpecahan
itulah yang menghancurkan aliran Khawarij. Satu-satunya yang masih ada, Ibadi dari Oman, Zanzibar, dan Maghreb
menganggap dirinya berbeda dari yang lain dan menolak disebut Khawarij.
E.
Sifat-sifat
Khawarij
1. Mencela dan Menyesatkan
Orang‑orang Khawarij sangat mudah mencela dan
menganggap sesat Muslim lain, bahkan Rasul saw. sendiri dianggap tidak adil
dalam pembagian ghanimah. Kalau terhadap Rasul sebagai pemimpin umat berani
berkata sekasar itu, apalagi terhadap Muslim yang lainnya, tentu dengan
mudahnya mereka menganggap kafir. Mereka mengkafirkan Ali, Muawiyah, dan
sahabat yang lain. Fenomena ini sekarang banyak bermunculan. Efek dari mudahnya
mereka saling mengkafirkan adalah kelompok mereka mudah pecah disebabkan
kesalahan kecil yang mereka perbuat.
2. Buruk Sangka
Fenomena sejarah membuktikan bahwa orang‑orang
Khawarij adalah kaum yang paling mudah berburuk sangka. Mereka berburuk sangka
kepada Rasulullah saw. bahwa beliau tidak adil dalam pembagian ghanimah, bahkan
menuduh Rasulullah saw. tidak mencari ridha Allah. Mereka tidak cukup sabar
menanyakan cara dan tujuan Rasulullah saw. melebihkan pembesar‑pembesar
dibanding yang lainnya. Padahal itu dilakukan Rasulullah saw. dalam rangka
dakwah dan ta’liful qulub. Mereka juga menuduh Utsman sebagai nepotis dan
menuduh Ali tidak mempunyai visi kepemimpinan yang jelas.
3. Berlebih‑lebihan dalam ibadah
Ini dibuktikan oleh kesaksian Ibnu Abbas.
Mereka adalah orang yang sangat sederhana, pakaian mereka sampai terlihat serat‑seratnya
karena cuma satu dan sering dicuci, muka mereka pucat karena jarang tidur
malam, jidat mereka hitam karena lama dalam sujud, tangan dan kaki mereka
‘kapalan’. Mereka disebut quro’ karena bacaan Al-Qur’annya
bagus dan lama. Bahkan Rasulullah saw. sendiri membandingkan ibadah orang‑orang
Khawarij dengan sahabat yang lainnya, termasuk Umar bin Khattab, masih tidak
ada apa‑apanya, apalagi kalau dibandingkan dengan kita. Ini menunjukkan betapa
sangat berlebih‑lebihannya ibadah mereka. Karena itu mereka menganggap ibadah
kaum yang lain belum ada apa-apanya.
4. Keras terhadap sesama Muslim dan memudahkan yang lainnya
Hadits Rasulullah saw. menyebutkan bahwa mereka
mudah membunuh orang Islam, tetapi membiarkan penyembah berhala. Ibnu Abdil Bar
meriwayatkan, “Ketika Abdullah bin Habbab bin Al‑Art berjalan dengan isterinya
bertemu dengan orang Khawarij dan mereka meminta kepada Abdullah untuk
menyampaikan hadits‑hadits yang didengar dari Rasulullah saw., kemudian
Abdullah menyampaikan hadits tentang terjadinya fitnah,
“Yang
duduk pada waktu itu lebih baik dari yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari
yang berjalan….”
Mereka bertanya, “Apakah Anda mendengar ini
dari Rasulullah?” “Ya,” jawab Abdullah. Maka serta-merta mereka langsung
memenggal Abdullah. Dan isterinya dibunuh dengan mengeluarkan janin dari
perutnya.
Di sisi lain tatkala mereka di kebun kurma dan
ada satu biji kurma yang jatuh kemudian salah seorang dari mereka memakannya,
tetapi setelah yang lain mengingatkan bahwa kurma itu bukan miliknya, langsung
saja orang itu memuntahkan kurma yang dimakannya. Dan ketika mereka di Kuffah
melihat babi langsung mereka bunuh, tapi setelah diingatkan bahwa babi itu
milik orang kafir ahli dzimmah, langsung saja yang membunuh babi tadi mencari
orang yang mempunyai babi tersebut, meminta maaf dan membayar tebusan.
5. Sedikit pengalamannya
Hal ini digambarkan dalam hadits bahwa orang‑orang
Khawarij umurnya masih muda‑muda yang hanya mempunyai bekal semangat.
6. Sedikit pemahamannya
Disebutkan dalam hadits dengan sebutan
Sufahaa-ul ahlaam (orang bodoh), berdakwah pada manusia untuk mengamalkan Al‑Qur’an
dan kembali padanya, tetapi mereka sendiri tidak mengamalkannya dan tidak
memahaminya. Merasa bahwa Al‑Qur’an akan menolongnya di akhirat, padahal
sebaliknya akan membahayakannya.
7. Nilai Khawarij
Orang‑orang Khawarij keluar dari Islam
sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw., “Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak
panah keluar dari busurnya.”
8. Fenomena Khawarij
Mereka akan senantiasa ada
sampai hari kiamat. “Mereka akan senantiasa keluar sampai yang
terakhir keluar bersama Al‑Masih Ad‑Dajjal”
9. Kedudukan Khawarij
Kedudukan mereka sangat rendah. Di dunia disebut
sebagai seburuk-buruk makhluk dan di akhirat disebut sebagai anjing neraka.
10. Sikap terhadap Khawarij
Rasulullah saw. menyuruh kita untuk membunuh
jika menjumpai mereka. “Jika engkau bertemu dengan mereka, maka
bunuhlah mereka.”
3. Mu’tazilah
A.Pengertian
Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang
artinya menunjukkan kesendirian, kelemahan, keputus-asaan, atau mengasingkan
diri[10].
Dalam Al-Qur’an, kata-kata ini diulang sebanyak sepuluh kali yang
kesemuanya mempunyai arti sama yaitu al ibti’âd ‘ani al syai-i (menjauhi
sesuatu) seperti dalam ayat:
فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَ ْلقَوْا اِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلاً
Artinya:
“Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. An-Nisa’: 90)
Sedang secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri.
فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَ ْلقَوْا اِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلاً
Artinya:
“Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. An-Nisa’: 90)
Sedang secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri.
a.
Latar Belakang
Muncul Mu’tazilah
Pada masa pemerintah Al-ma’mun (dinasti Bani
Abbasiah) filsafat Yunani mulai masuk kedalam pemikiran islam. Ilmu pengetahuan
tumbuh dan berkembang dengan pesat. Namun membawa pula problema teologis baru.
Dan ilmu kalam dimaksudkan untuk mengantisipasi persoalan-persoalan yang
muncul, dan sekaligus dimaksud untuk melindungi
aqidah islamiyah dari rongrangan non muslim. Al-ma’mun melakukan
kesalahan besar dengan menjadikan paham mu’tazilah sebagai paham resmi Negara, dan
memaksakannya lewat inkuisisi (introgasi aqidah) atas para ulama besar.
Sehingga muncul reaksi balik yang pada gilirannya memukul Mu’tazilah, dan
bahkan membuatnya lenyap dari panggung sejarah pemikiran islam. Ahl al-hadist
(ortodoks-tekstualis), dibawah kepeloporan Ahmad bin hanbal, yang semula
mendapat tekanan, akhirnya berada diatas angin. Sayang, mereka pun melakukan
kesalahan yang sama. Ekstrem dibalas ekstrem, dan kaum muslimin kehilangan
pegangan teologis yang amat menentukan langkah sebagai suatu umat. Dengan
maksud menjadi penengah, lahirlah aliran Asy’ariyah, yang melalui tokoh-tokoh besar
mereka, semisal Al-BAqillani, Al-Juwayni dan Al-Ghazali, serta dukungan
dukungan penguasa (Nizham Al-mulk) dengan madrasah-madrasah Nizhamiyyahnya,
menjadi aliran paling besar dan diterima oleh mayoritas umat hingga kini.
Di Smarkand muncul pula Al-Maturidi yang lebih
berinduk pada Imam Abu Hanifah. Aliran ini, terpecah dua, sebagian terselap
oleh Mu’tazilah bangkit kembali melalui Dinasti Savawid (Savawiyah) dan
dilanjutkan oleh Qadhi Abdul Jabbar, Al-Zamakhsyari (penyusun Tafsir
al-Kasyasyaf), dan kelak Muhammad Abduh dan murid-muridnya.
Ahl Al-hadist yang kemudian menyebut dirinya
kaum salaf, menemukan pelanjutnya pada diri tokoh genius dan Harran, Ibnu
taimiyyah. Pandangan Taimiyyah cukup popular di indo-pakistan pada abad ke
18-19 melalui gerakan syari’ah yang dipimpin oleh Putra syah Waliyullah Al-Dehlawi.
Paada era modern kita temukan aliran ini pada diri Rasyid ridha dan aliran
Wahabiyah. Di Indonesia, ajaran ini cukup banyak di serap oleh muhammadiyah dan
persis. Sementara, nahdatul ulama lebih bercorak Asy’ariyyah. Adalah tidak
benar bila dikatakan bahwa muhammadiyah dan persis terpengaruh oleh persis.
Muhammad abduh sangat terpengaruh oleh
Mu’tazilah. Dan ajarannya dilanjutkan oleh Ahmad Amien, Husein Haekal, dan
lain-lain. Rasyid Ridha sesungguhnya adalah murid Abduh. Namun pengaruh Ibnu Taimiyyah
jauh lebih kuat terhadap dirinya ketimbang pengaruh dari gurunya tersebut.
Belakangan, muncul sayyid Quthb yang mulai melakukan talfiq antara Mu’tazilah
dengan salaf. Sementara itu, pelanjut-pelanjut Asy’ariyyah diberbagai
penjurumulai melakukan revisi-revisi.
Pada akhirnya, ketika pemikiran kalam (teologi
islam) memasuki abad modern, sudah tidak ada satu aliran klasik pun yang bisa
disebut masih hidup dalam bentuknya yang asli. Karena itu, kita menjadi sulit
untuk menyebut pemikiran-pemikiran yang diperkenalkan oleh para pemikir muslim
dalam bidang ini sebagai berinduk pada aliran-aliran klasik sebelumnya. Aliran
Syi’ah sudah muncul sejak zaman Rasulullah SAW, aliran ini terbilang paling
kreatif dalam bidang kalam (teologi islam) yang dibuktikan dengan produk-produk
pemikiran yang selalu berkembang. Rasionalisme yang dimilikinya lebih dekatpada
Mu’tazilah, tetapi filsafatnya yang lebih terpengaruholeh mulla shadra,
membuatnya memiliki banayak kemiripan dengan apa yang selama ini diklaim para
penganut Asy’ariyyah sebagai ajaran mereka.
B.
Penyebaran
Mu’tazilah
Asal mula kata ini adalah suatu saat ketika al-Hasan al- Bahsriy
(110 H) sedang mengajar di masjid Basrah datanglah seorang laki-laki bertanya
tentang orang yang berdosa besar. Maka ketika ia sedang berpikir menjawablah
salah satu muridnya Wasil bin Atha' (131 H) menjawab : "Saya berpendapat
bahwa ia bukan mukmin dan bukan kafir, tetapi mengambil posisi diantara
keduanya". Kemudian ia menjauhkan diri dari majlis al-Hasan dan pergi
ketempat lain dan mengulangi pendapatnya. Maka al-Hasan menyatakan : Washil menjauhkan
diri dari kita (I'tazal 'anna). 11 Pendapat-pendapat mereka :
- Orang Islam yang berdosa besar bukan kafir dan bukan mukmin
tetapi berada di antara keduanya (al-Manzilah bainal manzilatain)
- Tuhan bersifat bijaksana dan adil, tidak dapat berbuat jahat dan zalim. Manusia sendirilah yang
memiliki kekuatan untuk mewujudkan perbuatannya perbuatannya, yang baik dan
jahat, iman dan kufurnya, ta'at dan
tidaknya.
- Meniadakan sifat-sifat Tuhan, artinya sifat Tuhan tidak mempunyai
wujud sendiri di luar zat Tuhan
- Baik dan buruk dapat ditentukan dengan akal
- Al-Quran bukan qadim (kekal) tetapi hadits (baru /diciptakan)
- Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat nanti
- Hanya mengakui Isra Rasulullah ke Baitul Maqdis tetapi
tidak mengakui Mi'rajnya ke langit
- Tidak mempercayai wujud Arsy dan Kursi Allah, Malaikat
pencatat amal (Kiraman Katibiin), Adzab (siksa) kubur.
- Tidak mempercayai adanya Mizan (timbangan amal), Hisab (perhitungan
amal), Shiratul Mustaqiim (Titian), Haud (kolam nabi) dan Syafa'at
nabi di hari Kiamat.
- Siksaan di neraka dan kenikmatan di surga tidak kekal (ikut
sebagian kelompok)
C. Aliran dan
cabang Mu’tazilah
Gerakan kaum Mu`tazilah pada mulanya memiliki
dua cabang yaitu :
1. Di Basrah (Iraq) yang dipimpin oleh Washil Ibn Atha` dan Amr Ibn Ubaid dengan murid muridnya, yaitu Ustman bin Ath Thawil , Hafasah bin Salim dll. Ini berlangsung pada permulaan abad ke 2 H. Kemudian pada awal abad ke 3 H wilayah Basrah dipimpin oleh Abu Huzail Al-Allah (wafat 235), kemudian Ibrahim bin Sayyar (211 H) kumudian tokoh Mu`tazilah lainnya.
1. Di Basrah (Iraq) yang dipimpin oleh Washil Ibn Atha` dan Amr Ibn Ubaid dengan murid muridnya, yaitu Ustman bin Ath Thawil , Hafasah bin Salim dll. Ini berlangsung pada permulaan abad ke 2 H. Kemudian pada awal abad ke 3 H wilayah Basrah dipimpin oleh Abu Huzail Al-Allah (wafat 235), kemudian Ibrahim bin Sayyar (211 H) kumudian tokoh Mu`tazilah lainnya.
9.
Di
Bagdad (iraq) yang dipimpin dan didirikan oleh Basyir bin Al-Mu`tamar salah
seorang pemimpin Basrah yang dipindah ke Bagdad kemudian mendapat dukungan dari
kawan-kawannya, yaitu Abu Musa Al- Musdar, Ahmad bin Abi Daud dll.
Inilah
imam-imam Mu`tazilah di sekitar abad ke 2 dan ke 3 h. DI Basrah dan di Bagdad,
khalifah-khalifah Islam yang tereang-terangan menganut aliran ini dan
mendukunhnya adalah :
1.Yazid bin Walid (Khalifah Bani Umayyah yang
berkuasa pada tahun 125-126 H)
2.Ma`mun bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 198-218 H)
3.Al- Mu`tashim bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H)
4.Al- Watsiq bin Al- Mu`tashim (Khalifah Bani Abbasiah 227-232 H)
2.Ma`mun bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 198-218 H)
3.Al- Mu`tashim bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H)
4.Al- Watsiq bin Al- Mu`tashim (Khalifah Bani Abbasiah 227-232 H)
Diantara gembong-gembong ulama Mu`tazilah
lainya adalah :
1.Utsman Al- Jahidz, pengarang kitab Al- Hewan (wafat 255 H)
2.Syarif Radhi (406 H)
3.Abdul Jabbar bin Ahmad yang terkenal dengan sebutan Qadhi`ul Qudhat.
4.Syaikh Zamakhsari pengarang tafsir Al- Kasysyaf (528 )
5.Ibnu Abil Hadad pengarang kitab Syarah Nahjul Balaghah (655)
1.Utsman Al- Jahidz, pengarang kitab Al- Hewan (wafat 255 H)
2.Syarif Radhi (406 H)
3.Abdul Jabbar bin Ahmad yang terkenal dengan sebutan Qadhi`ul Qudhat.
4.Syaikh Zamakhsari pengarang tafsir Al- Kasysyaf (528 )
5.Ibnu Abil Hadad pengarang kitab Syarah Nahjul Balaghah (655)
D.
Kesesatan –
kesesatan Mu’tazilah
1.Tauhid,
memiliki arti “Penetapan bahwa Al-Quran itu adalah makhluk” sebab jika Al-Quran
bukan makhluk, berarti terjadi sejumlah zat qadiim (menurut mereka Allah adalah
Qadiim, dan jika Al-Quran adalah Qadiim, berarti syirik/ tidak bertauhid)
2.Al-Adl,
memiliki Arti “Pengingkaran terhadap taqdir” sebab seperti kata mereka bahwa Allah
tidak menciptakan keburukan dan tidak mentaqdirkan nya, apabila Allah
menciptakan keburukan, kemudian Dia menyiksa manusia karena keburukan yang
diciptakannya, berarti Dia berbuat zalim, sedang Allah adil dan tidak berbuat
zalim.
3.Al-
Wa`du Wal Wa`iid (terlaksananya ancaman), maksudnya adalah apabila Allah
mengancam sebagian hamba-Nya dengan siksaan, maka tidak boleh bagi Allah untuk
tidak menyiksa-Nya dan menyelisih ancaman-Nya, sebab Allah tidak menginginkan
janji, artinya- menurut mereka Allah tidak memaafkan orang-orang yang
dikehendaki-Nya dan tidak mengampuni dosa-dosa (selain syirik) bagi yang
dikehendaki-Nya. Hal ini jelas bertentangan dengan Ahlus Sunnah Waljama`ah.
4.Al-Manzilah
Baina Manzilatain, Artinya orang yang berbuat dosa besar berarti keluar dari
iman tetapi tidak masuk kedalam kekufuran, akan tetapi ia berada dalam satu
posisi antara dua keadaan (tidak mukmin dan tidak juga kafir)
5.Amar
Ma`ruf Nahi Munkar, yaitu bahwa mereka wajib memerintahkan golongan selain
mereka untuk melakukan apa yang mereka lakukan dan melarang golongan selain
mereka apa yang dilarang bagi mereka.
Beberapa I`tiqad kaum Mu`tazilah yang bertentangan dengan Ahlus Sunnah yaitu :
1.Mereka
berpendapat bahwa baik buruknya sesuatu ditentukan oleh akaln dan bukan oleh
syari`at. Dengan demikian dalam pandangan mereka akal menduduki kedudukan yang
lebih tinggi dari pada syari`at.
2.Mereka
mengatakan bahwa tidak memiliki sifat. Apa yang tercantum dalam Al- Quran dan
sunnah berupa asma dan sifat Allah merupakan sekedar nama yang tidak memiliki
pengaruh sedikitpun dari nama tersebut. Dengan demikian mereka menafikan adanya
sifat-sifat tinggi dan mulia bagi Allah.
3.Mereka
berpendapat bahwa Al-Quran adalah makhluk. Ahlus Sunnah berpendapat dan
bersepakat bahwa Al- Quran bukan makhluk.
4.Mereka
berpendapat bahwa pelaku dosa besar dari golongan mukmin, maka dia tidak
disebut lagi sebagai seorang mukmin, namun juga tidak disebut kafir. Ahlus
sunnah berpendapat bahwa seorang mukmin yang berbuat dosa besar , ia tetap
sebagai mukmin yang berbuat kefasikan .
5.Mereka
berpendapat bahwa Allah tidak dapat dilihat nanti pada hari kiamat (ketika
dalam surga), karena hal itu akan menimbulkan pendapat, seolah-olah Allah
berada dalam surga atau Allah dapat dilihat. Ahlus Sunnah berpendapat bahwa
orang-orang beriman yang telah masuk surga akan dapat melihat Allah sesuai
dengan (Q.S. Al- Qiyamah : 22-23).
6.Mereka
tidak meyakini bahwa Nabi Muhammad mi`raj dengan ruh dan jasadnya.
7.Mereka
berpendapat bahwa manusialah yang menjadikan pekerjaannya, dan Allah sama
sekali tidak ikut campur dalam perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
8.Mereka
tidak meyakini adanya `Arsy dan Kursi”. Mereka mengatakan bahwa jika keduanya
benar-benar sebesar itu. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis, lalu
diletakkan dimana kedua benda tersebut. Mereka mengatakan kedua benda tersebut
hanyalah sekedar menggambarkan kebesaran dan keagungan Allah.
9.
Mereka juga tidak mengakui adanya malaikat “Kiraman Katibin” atau malaikat
Rajib dan Atid. Mereka berpendapat bahwa ilmu Allah telah meliputi segalanya,
sehingga tidak perlu lagi adanya pembantu dari kalangan malaikat.
10.Mereka
tidak meyakini adanya mizan, hisab, shirat, al- haudh dan syafa`at pada hari
kiamat kelak.
Aliran
atau sekolah pemikiran yang menegaskan bahwa berasio dengan logika adalah azas
yang paling baik dalam melakukan sesuatu tindakan ataupun menyelesaikan
masalah. Dalam hubungannya dengan pemikiran Islam, rasiolisme merupakan aliran
yang pertama muncul sebagai respon terhadap kitab ayat-ayat Al-Quran sehubungan
dengan penggunaan akal
Aliran
rasionalis ini seiring dihubungkan dengan Mu`tazilah yang dipelopori oleh
Washil Ibn Atha` Al- Gazzal (689-749 M) murid kepada Hasan Al- Basri (642-728
H). Hasan Al- Basri adalah seorang tabiin dengan sering kali diberi julukan
sebagai imam pada zamannya. Apbila dihubungkan dengan istilah salaf dan
berpegang dengan sunah, Hasan A- Basri adalah salah seorang dari kalangan
mereka.
4.Gagasan
Rasionalisme/ Mu`tazilah.
Memberi
keutamaan kepada akal dalam memahami ajaran Quran serta hadis. Kebebasan akal
terikat pada ajaran-ajaran mutlak Quran dan Sunah, yaitu ajaran yang termasuk
dalam istilah Qat`iy al-wurud dan Qat`iy al-dalalah.
Maksud
Quran dan hadis difahami sesuai dengan pendapat akal.
“Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam Quran dan Hadis”. Oleh Prof. Harun Nasution.
“Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam Quran dan Hadis”. Oleh Prof. Harun Nasution.
4.Murji’ah
A. Pengertian
Kata“Murji’ah”
berasal dari kata “arja’a” atau “arja” yang mempunyai beberap
pengertian diantaranya:
a.“Penundaan”,“Mengembalikan”umpamanya bagi orang yang sudah mukmin. Tapi berbuat
dosa besar sehinggga matinya belum bertaubat, orang itu hukumanya di Tunda,
dikembalikan Urusanya kepada Allah kelak.
b. “Memberi pengharapan”. Yakni bagi orang Islam yang melakukan
dosa besar tidak dihukum kafir melainkan tetap mukmin dan masih ada harapan
untuk memperoleh pengampunan dari Allah.
c. “Menyerahkan”maksudnya menyerahkan segala persoalah tentang siapa yang benar dan siapa
yang salah hanya kepada keputusan Allah
kelak.
Dari beberapa pengertian
diatas bisa kita menyimpulkan tentang pengertian dari Murji’ah. Adapun yang di maksud kaum Murji’ah di sini ialah suatu
golongan atau kaum orang-orang yang tidak mau ikut terlibat dalam mengkafirkan
tehadap sesama umat Islam seperti dilakukan kaum Khawarij yang mengatakan bahwa
semua yang terlibat dalam tahkim adalah kafir, dan mengatakan bahwa orang Islam
yang berdosa besar juga kafir. Bagi mereka, soal kafir atau tidaknya
orang-orang yang terlibat dalam tahkim dan orang Islam yang berdosa besar, kita
tidak tahu dan tidak dapat menentukan sekarang. Mereka mempunyai pandangan
lebih baik menangguhkan penyelesain persoalan tersebut dan menyerahkanya kepada
keputusan Allah di hari kemudian yakni pada hari perhitungan sesudah hari
Kiamat nanti. Karena mereka berpendirian menangguhkan atau menunda persoalan
tersebut, mereka kemudian disebut kaum Murji’ah.
B. Latar
Belakang muncul Murji’ah
Golongan Murji’ah ini mula-mula timbul di Damaskus, pada
akhir abad pertama hijrah. Dinamakan “Murji’ah” karena golongan ini menunda
atau mengembalikan tentang hukum orang mukmin yang berdosa besar dan belum
bertobat sampai matinya, orang itu belum dapat dihukumi sekarang. Ketentuan
persoalannya ditunda atau dikembalikan terserah kepada Allah di hari akhir
nanti.
Lahirnya aliran Murji’ah disebabkan oleh kemelut politik setelah meninggalnya Khalifah Utsman bin Affan, yang di ikuti oleh
kerusuhan dan pertumpahan darah. Kemelut polotik itu berlanjut dengan
terbunuhnya Khalifah Ali yang diikuti pula kerusuhan dan pertumpahan darah. Di
saat-saat demikian, lahirlah aliran Syi’ah dan aliran Khawarij. Syi’ah
menentang Bani Umayah karena membela Ali dan Bani Umayyah dianggap sebagai penghianat,
mengambil alih kekuasaan dengan cara penipuan.[11]
Di antara Syi’ah dan Khawarij di satu pihak dan Bani
Umayyah di pihak lain yang saling bermusuhan dan menumpahkan darah itu,
tampillah segolongan yang di sebut Murji’ah.
Seperti halnya lahirnya aliran Khawarij, demikian juga halnya munculnya aliran Murji’ah adalah dengan latar belakang politik. Sewaktu pusat
pemerintahan Islam pindah ke Damaskus. Maka mulai kurang taatnya beragama
kalangan penguasa Bani Umauyyah, berbeda dengan Khulafur-Rasyidin. Tingkah laku
pengusa tampak semakin kejam. Sementara ummat Islam bersikap diam saja. Timbul persoalan: “Bolehkah ummat Islam
berdiam saja dan wajibkah kepada khalifah yang dianggapnyazalim?”.
Orang-orang murjiah berpendapat bahwa seorang muslim boleh saja shalat di
belakang seorang yang sholeh ataupun di belakang orang fasiq. Sebab penilaian
baik dan buruk itu terserah kepada Allah. Soal ini mereka tangguhkan dan karena
itu pulalah mereka dinamakan golongan Murji’ah yang yang berarti melambatkan
atau menagguhkan tentang balasan Allah sampai nanti.
Dipandang dari sisi politik, pendapat golongan Murji’ah memang menguntungkan
penguasa Bani Umayyah. Sebab dengan demikian berarti membendung kemungkinan
terjadinya pemberontakan terhadap Bani
Umayyah sekalipun khalifah dan pembantu-pembantunya itu kejam, toh mereka itu
muslim juga. Pendapat ini berbeda dengan pendirian golongan khawarij yang
mengatakan bahwa berbuat zalim, berdosa besar itu adalah kafir.
Pada masa pemerintahan Umar Bin Khattab beberapa daerah takluk ke dalam
kekuasaannya. Syria jatuh pada tahun 638 M,
disusul Mesir pada 641M, lalu Persia 642 M jatuh ketangan ummat Islam. Berarti
ada tiga kerajaan besar dengan kekayaan yang cukup dan tinggi peradabanya,
masuk kedalam kekuasaan Islam. Masing-masing daerah ini menjadi wilayah gubernur dengan pusat pemerintahan tetap di Madinah. Masing-masing daerah diperintah seorang gubernur.
Ada beberapa hal yang perlu di perhatikan. Bahwa meluasnya wilayah Islam ke
tiga daerah tersebut:
·
Pertama, penduduk dari
wilayah Persia, Syria dan Mesir itu masing-masing telah mengenal peradaban dan
agama-agama lama seperti peradaban agama-agama Mesir, Babilon, Persia, Yahudi
dan Nasrani juga peradaban keagamaan dan filsafat Yunani (Hellenisme dan
Platonisme). Pengaruh Yunani terutama menjadi makin tampak disebabkan imperium
Romawi Timur telah berabad-abad memerintah Syria dan Mesir, takala Khalifah
Umar membebaskanya.
·
Kedua, setelah
daerah-daerah ini masuk imperium Islam banyaklah penduduk-penduduk daerah itu
yang menukar agamanya kepada Islam baik dengan jalan perkawinan ataupun dengan
jalan pelajaran semata-mata. Hal ini terjadi dengan pesatnya terutama
disebabkan pada zaman itu rakyat umum telah biasa untuk menuruti sikap
pemimpin-pemimpinnya. Apalagi raja-rajanya, panglima-panglimanya atau pendeta
dan orang-orang kayanya masuk Islam, maka mereka pun masuk Islamlah pula.
Ke dua hal di atas tentu saja terpengaruh pada jalan pikiran umat Islam
umumnya, sebab umat islam yang baru ini (rakyat-rakyat Persia, Mesir dan Syria)
telah membaea pula peradabannya dan
cara-cara pemikiranya ke dalam tubuh masyarakat Islam sendiri.
Dan ini menjadi persoalanya baru pula di kalangan umat Islam. Harus
diperiksa (diseleksi) manakala dari peradaban dan pemikiran itu sesuai dan
dapat diterima Islam, dan mana pula yang bebeda, bertentangan dan di tolak oleh
agama Islam.
Untuk itu terjadilah pertukaran pikiran di antara mereka. Dan dari sini
timbullah perselisihan-perselisihan pendapat. Kalau dalam tubuh umat Islam Arab
sendiri telah timbul benih-benih pembahasan dan perselisihan pendapat tentang
soal-soal pemikiran (filsafat) keagamaan (soal qaddar Tuhan) maka dengan
pembahasan-pembahasan baru ini menjadilah dunia pembahasan itu bertambah besar
dan meluas. Melihat baik dilihat pada lingkungannya ataupun dilihat pada
unsur-unsur yang terdapat di dalamnya.
Pembahasan itu makin menjadai-jadi dan telah berupa suatu pembicaraan soal
ketuhanan yang khusus bersifat ilmu pengetahuan.Lalu timbullah istilah ilmu
kalam yang berarti ilmu yang berbicara (berdebat) sebagai nama baru bagi Ilmu
Tauhid atau Ilmu Ushuluddin yang telah ada.
C. Penyebaran Murji’ah
Kaum Murjiah yang muncul pada abad I Hijriyyah merupakan
reaksi akibat adanya pendapat Syiah yang mengkafirkan sahabat yang
menurut mereka merampas kekhalifahan dari Ali, dan pendapat Khawarij yang
mengkafirkan kelompok Ali dan Muawiyah. Pada saat itulah muncullah sekelompok
umat Islam yang menjauhkan dari pertikaian, dan tidak mau ikut mengkafirkan
atau menghukum salah dan menangguhkan persoalannya sampai dihadapan Allah SWT. Pada
asalnya kelompok tidak membentuk suatu madzhab, dan hanya membenci soal-soal
politik, tetapi kemudian terbentuklah suatu madzhab dalam ushuluddin yang
membicarakan tentang Iman, tauhid dan lain-alin. Pemimpin dari kaum Murjiah
adalah Hasan bin Bilal (152 H). 8 Kaum Murji'ah dapat
dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Golongan
moderat
Pendapat-pendapat mereka :
- Orang berdosa
bukan kafir dan tidak kekal dalam neraka.
b. Golongan
Ekstrim
Pendapat-pendapat mereka :
- Orang Islam yang percaya pada Allah kemudian menyatakan kekufuran
secara lisan tidak menjadi kafir karena iman itu letaknya di dalam hati, bahkan
meskipun melakukan ritual agama-agama lain.
- Yang dimaksud ibadah adalah iman, sedangkan shalat, puasa, zakat
dan haji hanya menggambarkan kepatuhan saja
- Maksiat atau pekerjaan-pekerjaan
jahat tidak merusak iman ( Al-Yunusiah)
- Menangguhkan
hukuman orang yang berdosa diakhirat
D. Aliran dan
Cabang Murji’ah
Al Bagdhadi membagi aliran
Murjiah kepada tiga golongan besar, yaitu:
a.
Murjiah dalam pengaruh
faham Qadariah dengan pendukung-pendukungnya:
© Ghailan
© Abi
Syamar
© Muhammad
bin Syahib al Basri
Mereka ini menganut paham kehendak bebas yang dikaitkan ketentuan-ketentuan
efektif Tuhan terhadap setiap kejadian.
b.
Murjiah dalam pengaruh
faham Jabariah dengan pendukung-pendukungnya:
© Jaham bin Safwan
Yaitu yang menganut paham bahwa iman dan kufur adalah terletak di hati dan
bukan terletak pada perbuatan manusia. Oleh karena itu, orang yang menyembah
berhala dan matahari dianggap tetap beriman.[12]
c.
Murji’ah yang tidak dalam
pengaruh faham Jabariah atau Qadariah dan mereka ini terbagi dalam lima
golongan:
© Yunusiah
© Ghassaniah
© Tsaubaniah
© Thumaniah
© Marisiah
Tokoh-tokoh
Murji’ah, di samping yang telah di sebutkan dalam pimpinan golongan-golongan di
atas, dikenal pula:
© Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi
Thalib
© Sa’id bin Zubair (seorang wara’ dan
zuhud termasuk tabi’in)
© Abu Hanifah (Imam Mazhab)
© Abu Yusuf
© Muhammad bin Hasan
E.Kesesatan-kesesatan
Murji’ah
Secara
umum kelompok Murji’ah menyusun teori-teori keagamaan yang independen, sebagai
dasar gerakannya, yang intisarinya sebagai berikut :
(menurut Abu A’la Al-Maududi)[14]
(menurut Abu A’la Al-Maududi)[14]
1. Iman
Adalah cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan Rasulnya saja. Adapun amal atau perbuatan, tidak merupakan sesuatu keharusan bagai adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap sebagai mukmin walaupun ia meninggalkan apa yang difardhukan kepadanya dan melakukan perbuatan-perbuatan dosa besar.
2. Dasar keselamatan
Adalah iman semata-mata. Selama masih ada iman dihati, maka setiap maksiat tidak akan mendatangkanmudharat ataupun gangguan atas diri seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia hanya cukup dengan menjauhkan diri syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
Dengan kata lain, kelompok murji’ah memandang bahwa perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, yang kemudian menngkat pada pengertian bahwa, hanyalah imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau tidak mukminnya seseorang; perbuatan-perbuatan tidak memiliki pengaruh dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati seseorang dan tidak diketahui manusia lain; selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak memiliki iman. Yang penting ialah iman yang ada dalam hati. Dengan demikian ucapan dan perbuatan- perbuatan tidak merusak iman seseorang.
Berkaitan dengan Murji’ah, W. Montgomery Watt
merincinya sebagai berikut[15]
:
a) Penangguhan keputusan Ali dan Mu’awiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat.
b) Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidin.
c) Pemberian harapan (giving hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
d) Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (mazhab) para skeptis
dan empiris dari kalangan Helenis.
Harun Nasution menyebutkan ada empat ajaran pokok dalam doktrin teologi Murji’ah yaitu[16] :
a) Menunda hukuman atas Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Amr bn Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ ary yang terlibattahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
b) Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
c) menyerahkan meletakkan iman dari pada amal.
d) Memberikan pengaharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
[1] . Christopher
M. Blanchard, "Islam: Sunni and Syi'ah,
Conggressional Research Service, 2010
[2] . Riwayat di Durul Mansur milik
Jalaluddin As-Suyuti
[3] . Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari
dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu'ashirah,
1/31, karya Dr. Ghalib bin 'Ali Al-Awaji
[4] . Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan
Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm
[7] . Fat, juz 12 hal. 283
[8] . Mu'jam Al-Buldan li Yaqut Al-Hamawi
juz 2 hal. 245
[10] Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah, (Bairut: Darul Kitab, t.t),
hal. 207 cet. X
[14] Abdul A’la Al-Maududi, Al-Kholifah wa Al-Mulk,
terj.Muhammad Al-Baqir, Mizan, Bandung 1994, hlm.279-80
[15] W.Montgomery Watt, Early Islam: Collected Articels,
Eidenburg, 1990, hlm.181
[16] Nasution, Teologi Islam, op, cit, .hlm.22-3
0 komentar:
Post a Comment