IBlog Market

IBX5A43E631671FD

Friday, 3 October 2014

ALIRAN SAMPALAN DARI AQIDAH ISLAM

 Mata Kuliah                                                                                                  Dosen Pembimbing
Agama 1 (Aqidah)                                                                                                    Arif Marsal, Lc.,M.A   


ALIRAN SAMPALAN DARI AQIDAH ISLAM










Disusun oleh:
·    Resna Dina
·    Siti Meysarah Amir
·    Sherly Rahmatul Husna




FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN SYARIF KASIM RIAU


1.      SYIAH 
A.    Pengertian 
 Syi’ah (Bahasa Arab: شيعة, Bahasa Persia: شیعه) ialah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Secara umum, Syi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi'ah. Syi'ah Zaidiyyah, termasuk Syi'ah yang tidak menolak kepemimpinan tiga Khalifah sebelum Khalifah Ali bin Abu Thalib. Syi'ah adalah bentuk tunggal, sedangkan bentuk jamak-nya adalah "Syiya'an" (شِيَعًا). Syī`ī (Bahasa Arab: شيعي.) menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali. Secara garis besarnya, sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah.[1]
Istilah Syi'ah berasal dari Bahasa Arab (شيعة) "Syī`ah". Lafadz ini merupakan bentuk tunggal, sedangkan bentuk pluralnya adalah "Syiya'an". Pengikut Syi'ah disebut "Syī`ī" (شيعي). "Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah "Syi`ah `Ali" (شيعة علي) yang berarti "pengikut Ali", yang berkenaan dengan turunnya Q.S. Al-Bayyinah ayat "khair al-bariyyah", saat turunnya ayat itu Nabi Muhammad bersabda, "Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung - ya 'Ali anta wa syi'atuka hum al-faizun".[2] Kata "Syi'ah" menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Kaum yang berkumpul atas suatu perkara.[3]
Adapun menurut terminologi Islam, kata ini bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib adalah yang paling utama di antara para sahabat dan yang berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan atas kaum Muslim, demikian pula anak cucunya[4]. Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan.


B.     Latar belakang muncul Syi’ah

Para pembela sayyidina Ali pada awal nya disebut “Syi’ah Ali” atau pengikut Ali, kemudian istilah itu berubah menjadi syi’ah saja. Sebenarnya cikal bakal Syi’ah sebenernya sudah ada sejak masa nabi. Mereka adalah keluarga nabi, Bani hasyim, dan sahabat-sahabat Nabi yang selalu bersama Ali. Mereka dikenal sebagai sahabat-sahabat utama Nabi dan pelopor segala kebaikan. Ketika Nabi wafat, kaum muhajirin -tanpa melibatkan ali dan bani hasyim- dan kaum anshar mengadakan pemilihan khalifah pengganti Nabi di Saqifah Bani Sa’idah, semacam gedung DPR jahiliah yang sudah di tinggalkan sejak kedatangan islam.  
 kesepakatan yang lonjong mereka memilih abu bakar shiddiq, yang kemudian beramai-ramai pergi kemesjid Nabi untuk mengumumkan kekhalifahannya. Tetu saja ali, tokoh tokoh bani hasyim, dan sahabat-sahabat. ali sangat kaget atas peritiwa itu. Mereka tidak segera memberikan bai’atnya kepada abu bakar , karena pemilihannya dinilai tidak aspiratif. Ali kemudian berusaha meyakinkan tokoh-tokoh utama sahabati  Nabi, dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Untuk mendukung kekhalifahan dirinya. Tapi, Ali hanya bisa menghimpun kurang dari 40 orang tokoh, karena dari sebagian mereka sudah memberikan Bai’atnya kepada Abu Bakar , Abu Shafyan, tokoh utama Bani umaiyah  saat itu,datang menghampiri Ali dan menyatakan  kesanggupannnyamemberikan dukungan material dan militer. Tapi Ali menolak dukungannya, sambil mengatakan:”Anda memang tukang membuat kerusuhan sejak masa Nabi hingga sekarang!” Ali tidak butuh dukungan dari orang semacam Abu Shafyan, tetapi dari orang-orang terbaik didikan Nabi. Kaum Syi’ah lebih menguat lagi ketika pemilihan khalifah ketiga pengganti Umar. Ali mendapat dukungan sama kuat dengan Ustman. Demikian kata Abdurrahman bin Auf, Sepupu ustman, sang pemilik hak veto dalam memilih khalifah ketiga. Dengan kejujurannya, Abdurrahman mengungkapkan bahwa rakyat memilih Ali.  
 itu ia meminta Ali tampil kedepan untuk dilantik menjadi khalifah, dengan syarat-syarat yang dibacakan oleh dirinya. Hingga tiga kali, Ali hanya menyanggupi dua syarat, yaitu mengikuti kitabullah dan sunnah Rasul. Ali mengganti syarat ketiga, yaitu     mengikuti khalifah Abu Bakar dan Umar, dengan “mengikuti ra’yuku”. Utsman kemudian dipanggil kedepan untuk dilantik dengan syarat-syarat membacakan sebagaimana yang diminta kepada Ali. Utsman kemudian membacakannya, lalu ia pun dilantik oleh Abdurrahman bin Auf sebagai khaliah ketiga. Dalam peristiwa ini dalam peristiwa ini kaum Syi’ah mulai Nampak.mereka memprotes Abdurrahman yang tidak mengindahkan Ali. Pada pemilihan khalifah keempat, hamper seluruh tokoh Muhajirin dan Anshar (ribuan orang) bersepakat memilih Ali sebagai khalifah, kecuali bebebrapa orang saja yang netral. Ali pun menghormati mereka yang netral. Ali kemudian memindahkan ibu kota islam dari Madinah ke Kufah(sekarang:selah Baghdad). Dan dari sinilah memang para pendukung Ali. Dalam masa ke khalifahannya yang singkat, hamper lima tahun, pemerintahan Ali digoncang oleh peperangan saudara, sebagaimana telah disebutkan dalam bagian terdahulu. Peperangan inilah yang justru cukup mengkristalkan kaum Syi’ah dari bukan Syi’ah. Dengan kata lain, seluruh peperangan saudara dimasa ke khalifahan Ali merupakan seleksi untuk memilah, manakah pengikut Ali yang Syi’ah dan yang mana pula yang bukan syiah.
   Seleksi terakhir apakah seseorang itu Syi’ah atau bukan Syi’ahadalah pasca kekhalifahan Ali. Mereka yang benar-benar mndukung hasan bin Ali sebagai khalifahlah yang benar syi’ah.

C.    Penyebaran Syi’ah

Menurut sebagian ahli sejarah madzhab ini disebarkan pertama kali oleh Abdullah bin Saba yaitu seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam, dan hamper dibunuh oleh Ali[5].   

Dr. Fuad Mohammad Fachruddin membagi Syi'ah menjadi 4 macam aliran :

- Ekstrimis (al-Ghulatiyyah), sekarang sudah tidak ada lagi.
- Isma’iliyah dan cabang-cabangnya,. Tersebar di India, Pakistan, Afrika Utara , Eropa dan        Amerika.
- Zaidiyyah, Tersebar di Yaman dan sekitarnya.
- 12 Imam (Itsna 'Asyariyyah/Imamiyyah), Syi'ah yang paling banyak mempunyai pengikut di
 dunia tersebar di Iran, Irak, Lebanon, India, Pakistan dan bahkan di Arab Saudi serta negara-negara Teluk. Diperkirakan pengikutnya sekitar 120 juta orang[6] .
   Pendapat-pendapat mereka :

- Mengkafirkan sahabat Nabi yang tidak mendukung Ali (kecuali Syiah Zaidiyah sekarang-pen)
- Kepemimpinan (Imamah) merupakan satu dari beberapa pokok keimanan.
- Memandang Imam Itu ma'shum (orang suci)
- Wajib adanya Imam yang tersembunyi (Al-Imam Al- Mastur)
- Al-Quran yang sekarang mengalami perubahan dan pengurangan, sedangkan yang asli berada di tangan Al-Imam Al-Mastur (Syi'ah Imamiyah)
- Tidak mengamalkan hadits kecuali dari jalur keluarga Nabi Muhammad (Ahli Bait), (kecuali
madzhab Zaidiyyah-pen)
- Memperbolehkan taqiyah
- Tidak menerima ijma dan qiyas (kecuali madzhab Zaidiyyah-pen)
- Wajib sujud di atas tanah atau batu (Syi'ah Imamiyah)
- Memperbolehkan nikah mut'ah (Syi'ah Imamiyah)
- Tidak melakukan shalat Jumat karena Imam yang asli tidak ada (Syi'ah Imamiyah)  

D.    Aliran-aliran dan cabang Syi’ah

 Pada masa hidupnya Imam Ali a.s., Imam Hasan a.s. dan Imam Husein a.s. tidak terjadi perpecahan dalam tubuh mazhab Syi’ah. Setelah Imam Husein a.s. syahid, mayoritas pengikut Syi’ah menjadikan Imam Ali As-Sajjad a.s. sebagai imam keempat dan kelompok minoritas yang dikenal dengan sebutan “Kaisaniyah” menjadikan putra ketiga Imam Ali a.s. yang bernama Muhammad bin Hanafiah sebagai imam keempat dan mereka meyakini bahwa ia adalah Imam Mahdi a.s. yang ghaib di gunung Ridhawi. Di akhir zaman ia akan muncul kembali.
Setelah Imam Sajjad a.s. syahid, mayoritas pengikut Syi’ah mengakui Imam Baqir a.s., putranya sebagai imam Syi’ah dan kelompok minoritas meyakini Zaid, putranya yang lain sebagai penggantinya. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama Syi’ah Zaidiyah.
Pasca syahadah Imam Baqir a.s., para pengikut Syi’ah menjadikan Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s., putranya sebagai imam keenam Syi’ah. Dan setelah Imam Shadiq a.s. syahid, para pengikut Syi’ah terpecah menjadi lima golongan:
a.  Mayoritas pengikut Syi’ah yang meyakini Imam Musa Al-Kazhim a.s., putranya sebagai imam Syi’ah yang ketujuh.
b.  Kelompok kedua menjadikan putra sulungnya yang bernama Ismail sebagai imam Syi’ah  yang ketujuh. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama “Syi’ah Ismailiyah”.
c.  Kelompok ketiga menjadikan putranya yang bernama Abdullah Al-Afthah sebagai imam Syi’ah yang ketujuh. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama “Syi’ah Fathahiyah”.
d.  Kelompok keempat menjadikan putranya yang bernama Muhammad sebagai imam Syi’ah yang ketujuh.
e.  Kelompok kelima menganggap bahwa Imam Shadiq a.s. adalah imam Syi’ah terakhir dan tidak ada imam lagi sepeningalnya.
Setelah Imam Musa Al-Kazhim a.s. syahid, mayoritas pengikut Syi’ah meyakini Imam Ridha as., putranya sebagai imam Syi’ah yang kedelapan dan kelompok minoritas dari mereka mengingkari imamahnya dan menjadikan Imam Kazhim a.s. sebagai imam Syi’ah terakhir. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama “Syi’ah Waqifiyah”.
Setelah Imam Ridha a.s. syahid hingga lahirnya Imam Mahdi a.s., di dalam tubuh Syi’ah tidak terjadi perpecahan yang berarti. Jika terjadi perpecahan pun, itu hanya berlangsung beberapa hari dan setelah itu sirna dengan sendirinya. Seperti peristiwa Ja’far bin Imam Ali Al-Hadi a.s., saudara Imam Hasan Al-Askari a.s. yang mengaku dirinya sebagai imam Syi’ah setelah saudaranya syahid.
Semua kelompok dan aliran cabang di atas telah sirna dengan bergulirnya masa kecuali tiga aliran yang hingga sekarang masih memiliki pengikut yang tidak sedikit. Tiga aliran Syi’ah tersebut adalah Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Ismailiyah dan Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah.
a.Syi’ah Zaidiyah
Zaidiyah adalah para pengikut Zaid bin Ali As-Sajjad a.s. Pada tahun 121 H., ia mengadakan pemberontakan terhadap Hisyam bin Abdul Malik, salah seorang khalifah dinasti Bani Umaiyah. Sebagian masyarakat berbai’at dengannya dan ketika terjadi peperangan di Kufah antara kelompoknya dan tentara penguasa, ia syahid. Ia dianggap sebagai imam Syi’ah yang kelima oleh para pengikutnya. Setelah ia syahid, putranya yang bernama Yahya menggantikan keududukannya. Yahya sempat mengadakan pemberontakan terhadap Walid bin Yazid. Setelah ia meninggal dunia, Muhammad bin Abdullah dan Ibrahim bin Abdullah menggantikan kedudukannya sebagai imam Syi’ah. Mereka sempat mengadakan pemberontakan terhadap Manshur Dawaniqi, salah seorang khalifah dinasti Bani Abasiyah dan terbunuh dalam sebuah peperangan.
Setelah mereka terbunuh, Zaidiyah menjalani masa-masa kritis yang hampir menyebabkan kelompok ini punah. Pada tahun 250-320 H., Nashir Uthrush, salah seorang anak cucu saudara Zaid bin Ali, mengadakan pemberontakan terhadap penguasa Khurasan. Karena dikejar-kejar oleh pihak penguasa yang berusaha untuk membunuhnya, ia melarikan diri ke Mazandaran yang hingga saat itu penduduknya belum memeluk agama Islam. Setelah 13 tahun bertabligh, ia akhirnya dapat mengislamkan mayoritas penduduk Mazandaran dan menjadikan mereka penganut mazhab Syi’ah Zaidiyah. Dengan bantuan mereka, ia dapat menaklukkan Thabaristan dan daerah itu menjadi pusat bagi kegiatan Syi’ah Zaidiyah.
Menurut keyakinan mazhab Zaidiyah, setiap orang yang berasal dari keturunan Fathimah Az-Zahra` a.s., alim, zahid, dermawan dan pemberani untuk menentang segala manifetasi kelaliman, bisa menjadi imam. Syi’ah Zaidiyah menggabungkan dua ajaran dalam mazhabnya. Dalam bidang ushuluddin ia menganut paham Mu’tazilah dan dalam bidang furu’uddin ia menganut paham Hanafiah.
b. Syi’ah Ismailiyah dan Aliran-aliran Cabangnya
·   Bathiniyah
Imam Shadiq a.s. mempunyai seorang putra sulung yang bernama Ismail. Ia meninggal dunia ketika ayahnya masih hidup. Imam Shadiq a.s. mempersaksikan kepada seluruh khalayak bahwa putranya yang bernama Islma’il telah meninggal dunia. Ia pun telah mengundang gubernur Madinah kala itu untuk menjadi saksi bahwa putranya itu telah meninggal dunia. Meskipun demikian, sebagian orang meyakini bahwa ia tidak meninggal dunia. Ia ghaib dan akan muncul kembali. Ia adalah Imam Mahdi a.s. yang sedang dinanti-nantikan kedatangannya. Mereka meyakini bahwa persaksian Imam Shadiq a.s. di atas hanyalah sebuah taktik yang dilakukannya untuk mengelabuhi Manshur Dawaniqi karena khawatir ia akan membunuhnya.
Sebagian kelompok meyakini bahwa imamah adalah hak mutlak Ismail yang setelah kematiannya, hak itu berpindah kepada putranya yang bernama Muhammad. Akan tetapi, sebagian kelompok yang lain meyakini bahwa meskipun Ismail telah meninggal dunia ketika ayahnya hidup, ia adalah imam yang harus ditaati. Setelah masanya berlalu, imamah itu berpindah kepada putranya yang bernama Muhammad bin Ismail dan akan diteruskan oleh para anak cucunya.
Dua kelompok pertama telah punah ditelan masa. Kelompok ketiga hingga sekarang masih memiliki pengikut dan mengalami perpecahan internal juga.
Secara global, Ismailiyah memiliki ajaran-ajaran filsafat yang mirip dengan filsafat para penyembah bintang dan dicampuri oleh ajaran irfan India. Mereka meyakini bahwa setiap hukum Islam memiliki sisi lahiriah dan sisi batiniah. Sisi lahiriah hukum hanya dikhususkan bagi orang-orang awam yang belum berhasil sampai kepada strata spiritual yang tinggi. Oleh karena itu, mereka harus melaksanakan hukum tersebut dengan praktik rutin sehari-hari.
Mereka juga meyakini bahwa hujjah Allah ada dua macam: nathiq (berbicara) dan shaamit (diam). Hujjah yang pertama adalah Rasulullah SAWW dan hujjah yang kedua adalah imam sebagai washinya.
Bumi ini tidak akan pernah kosong dari hujjah Allah, dan hujjah tersebut selalu berjumlah 7 orang. Ketika seorang nabi diutus, ia akan memiliki syari’at dan wilayah. Setelah ia meninggal dunia, tujuh washi datang silih berganti untuk meneruskan ajarannya. Ketujuh washi tersebut memiliki kedudukan yang sama, yaitu kewashian kecuali washi terakhir. Ia memiliki tiga kedudukan sekaligus: kenabian, kewashian dan wilayah. Dan begitulah seterusnya, setelah washi ketujuh meninggal dunia, ia akan memiliki tujuh orang washi dan washinya yang ketujuh memiliki tiga kedudukan di atas sekaligus.
Menurut keyakinan mereka, Nabi Adam a.s. diutus dengan mengemban kenabian dan wilayah. Setelah meninggal dunia, ia memiliki tujuh orang washi. Washinya yang ketujuh adalah Nabi Nuh a.s. yang memiliki kedudukan kenabian, kewashian dan wilayah. Nabi Ibrahim a.s. adalah washi ketujuh Nabi Nuh a.s., Nabi Musa a.s. adalah washi ketujuh Nabi Ibrahim a.s., Nabi Isa a.s. adalah washi ketujuh Nabi Musa a.s., Muhammad bin Ismail adalah washi ketujuh Rasulullah SAWW (Imam Ali a.s., Imam Husein a.s., Imam Sajjad a.s., Imam Baqir a.s., Imam Shadiq a.s., Ismail dan Muhammad bin Ismail). Setelah Muhammad bin Ismail, terdapat tujuh orang washi yang nama dan identitas mereka tidak diketahui oleh siapa pun. Dan setelah masa tujuh orang washi tak dikenal itu berlalu, terdapat tujuh orang washi lagi. Mereka adalah tujuh raja pertama dinasti Fathimiyah di Mesir. Raja pertama adalah Ubaidillah Al-Mahdi.
Mereka juga meyakini bahwa di samping hujjah-hujjah Allah tersebut, terdapat dua belas orang nuqaba`. Mereka adalah para sahabat pilihan hujjah-hujjah Allah tersebut. Akan tetapi, sebagian aliran cabang Ismailiyah yang bernama Bathiniyah (Duruziyah) meyakini bahwa enam orang dari dua belas nuqaba` tersebut adalah para imam dan enam yang lainnya adalah selain imam.
Pada tahun 278 H., beberapa tahun sebelum Ubaidillah Al-Mahdi berkuasa di benua Afrika, seorang misterius yang berasal dari Khuzestan, Iran dan tidak pernah menyebutkan identitas dirinya muncul di Kufah. Di siang hari ia selalu berpuasa dan di malam hari ia selalu beribadah. Ia tidak pernah meminta bantuan dari orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia mengajak masyarakat setempat untuk menganut mazhab Ismailiyah dan mereka menjawab ajakannya. Kemudian ia memilih dua belas orang di antara pengikutnya sebagai nuqaba`. Setelah itu, ia keluar dari Kufah untuk menuju ke Syam dan tidak lama kemudian ia menghilang.
Setelah orang tak dikenal itu menghilang, ada seseorang yang bernama Ahmad dan dikenal dengan julukan Qirmith menggantikan kedudukannya untuk menyebarkan ajaran-ajaran Bathiniyah. Para sejarawan mengatakan bahwa ia menciptakan shalat baru sebagai ganti dari shalat lima waktu yang telah ditetapkan oleh Islam, menghapus mandi jenabah dan menghalalkan khamer. Para pemimpin Bathiniyah mengajak masyarakat untuk memberontak terhadap para penguasa waktu itu.
Para pengikut Bathiniyah ini menganggap halal darah orang-orang yang tidak mengikuti ajaran Bathiniyah. Atas dasar keyakinan ini, mereka pernah mengadakan pembunuhan dan perampokan besar-besaran di Irak, Bahrain, Yaman dan kota-kota sekitar. Sering kali mereka merampok kafilah haji yang sedang menuju Makkah dan membunuh semua orang yang ada di kafilah tersebut.
Abu Thahir Al-Qirmithi, salah seorang pemimpin Bathiniyah menaklukkan Bashrah pada tahun 311 H. dan ia membunuh penduduk secara besar-besaran serta merampok semua harta yang mereka miliki. Pada tahun 317 H., ia bersama para pengikut Bathiniyah pergi ke Makkah dan setelah terjadi pertempuran kecil antara mereka dan pasukan keamanan pemerintahan setempat, mereka dapat mengalahkan pasukan tersebut dan berhasil memasuki kota suci Makkah. Begitu memasuki kota Makkah, semua jenis pembunuhan dan perampokan mereka lakukan. Masjidil Haram pun sudah tidak memiliki arti bagi mereka. Dari dalam masjid suci tersebut darah mengalir bak air mengalir di dalam parit. Kain penutup Ka’bah mereka robek-robek dan dibagikan di antara mereka sendiri. Tidak hanya sampai di situ, pintu Ka’bah mereka hancurkan dan Hajar Aswad mereka bawa ke Yaman. Hajar Aswad berada di tangan Qaramithah selama 22 tahun.
Karena perilaku mereka yang asusila dan menentang agama, mayoritas pengikut Bathiniyah yang lain menganggap kelompok ini telah keluar dari agama Islam. Ubaidillah Al-Mahdi sendiri yang waktu itu adalah khalifah pertama dinasti Fathimiyah di Mesir, pemimpin mazhab Ismailiyah dan menganggap dirinya adalah Imam Mahdi a.s. yang telah dijanjikan oleh hadis-hadis mutawatir, menyatakan tidak ikut campur tangan berkenaan dengan mazhab Qaramithah.
·   Nazzariyah dan Musta’liyah
Ubaidillah Al-Mahdi berkuasa di benua Afrika (tepatnya di Mesir) pada tahun 296 H. dan ia adalah pendiri dinasti Fathimiyah. Mazhab yang dianutnya adalah Syi’ah Ismailiyah. Setelah ia meninggal dunia, tujuh orang dari keturunannya meneruskan dinastinya tanpa terjadi perpecahan di dalam tubuh mazhab Ismailiyah. Perpecahan di dalam tubuh mazhab Ismailiyah terjadi setelah raja ketujuh dinasti Fathimiyah, Mustanshir Billah Sa’d bin Ali meninggal dunia. Ia memiliki dua orang putra yang masing-masing bernama Nazzar dan Musta’li. Setelah ayah mereka meninggal dunia, terjadi persengketaan di antara kakak dan adik tersebut berkenaan dengan urusan khilafah. Setelah terjadi peperangan di antara mereka yang memakan banyak korban, Musta’li dapat mengalahkan Nazzar. Ia mengangkap Nazzar dan menghukumnya hingga ajal menjemputnya.
Setelah persengketaan tersebut, dinasti Fathimiyah yang bermazhab Ismailiyah terpecah menjadi dua golongan: Nazzariyah dann Musta’liyah.
-    Nazzariyah adalah para pengikut Hasan Ash-Shabaah, seseorang yang pernah memiliki hubungan dekat dengan Mustanshir Billah. Setelah Mustanshir Billah meninggal dunia, ia diusir dari Mesir oleh Musta’li karena dukungannya terhadap Nazzar. Ia lari ke Iran, dan akhirnya muncul di benteng “Al-Maut” yang berada di sebuah daerah dekat kota Qazvin. Ia berhasil menaklukkan benteng tersebut dan benteng-benteng yang berada di sekitarnya. Kemudian, ia memerintah di situ. Sejak pertama kali memerintah, ia mengajak penduduk sekitar untuk menghidupkan kembali nama baik Nazzar dan mengikuti ajaran-ajarannya.
Setelah Hasan Ash-Shabaah meninggal dunia pada tahun 518 H., Buzurg Oumid Rudbari menggantikan kedudukannya dan setalah ia meninggal dunia, putranya yang bernama Kiyaa Muhammad mengganti kedudukannya. Keduanya memerintah dengan mengikuti cara dan metode Hasan Ash-Shabaah. Sepeninggal Kiyaa Muhammad, putranya yang bernama Hasan Ali Dzikruhus Salam menggantikan kedudukannya. Ia menghapus semua cara dan ajaran Hasan Ash-Shabaah dan mengikuti ajaran-ajaran aliran Bathiniyah.
Hal ini terus berjalan lancar hingga Holaku Khan dari dinasti Mongol menyerang Iran. Ia berhasil menguasai semua benteng pertahanan mazhab Ismailiyah dan menyamaratakannya dengan tanah. Setelah peristiwa itu berlalu, Aqa Khan Mahallati yang bermazhab Nazzariyah memberontak terhadap Qajar Syah. Di sebuah pertempuran yang terjadi di Kerman, ia kalah dan melarikan diri ke Bombay, India. Setelah sampai di Bombay, ia mulai menyebarkan ajaran-ajaran Nazzariyah. Ajaran-ajarannya sampai sekarang masih diikuti oleh penduduk di sana. Dengan ini, aliran Nazzariyah juga dikenal dengan sebutan “Aqa-khaniyah”.
-    Musta’liyah adalah para pengikut Musta’li, salah seorang raja dinasti Fathimiyah yang pernah berkuasa di Mesir. Aliran ini akhirnya musnah pada tahun 557 H. Setelah beberapa tahun berlalu, sebuah aliran baru muncul di India yang bernama “Buhreh” (Buhreh adalah bahasa Gujarat yang berarti pedagang) dan meneruskan ajaran-ajaran Musta’liyah yang hingga sekarang masih memiliki pengikut.

·      Duruziyah
Pada mulanya Duruziyah adalah para pengikut setia para kahlifah dinasti Fathimiyah. Akan tetapi, ketika Khalifah keenam dinasti Fathimiyah memegang tampuk kekuasaan, atas ajakan Neshtegin Duruzi mereka memeluk aliran Bathiniyah. Mereka meyakini bahwa Al-Hakim Billah ghaib dan naik ke atas langit. Ia akan muncul kembali di tengah-tengah masyarakat.

·   Muqanni’iyah
Pada mulanya Muqanni’iyah adalah pengikut ‘Atha` Al-Marvi yang lebih dikenal dengan sebutan Muqanni’. Ia adalah salah seorang pengikut Abu Muslim Al-Khurasani. Setelah Abu Muslim meninggal dunia, ia mengaku bahwa ruhnya menjelma dalam dirinya. Tidak lama setelah itu, ia mengaku nabi dan kemudian mengaku dirinya Tuhan. Pada tahun 163 H., ia dikepung di benteng Kish yang berada di salah satu negara-negara Maa Wara`annahr. Karena yakin dirinya akan tertangkap dan akhirnya terbunuh, ia menyalakan api unggun lalu terjun ke dalamnya bersama beberapa orang pengikutnya. Para pengikutnya akhirnya menganut mazhab Ismailiyah yang beraliran faham Bathiniyah.
c.  Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah
Mayoritas Syi’ah adalah Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah. Seperti yang telah disinggung di atas, mazhab ini memisahkan diri dari mayoritas muslimin setelah Rasulullah SAWW meniggal dunia dikarenakan dua faktor urgen yang tidak diindahkan oleh mayoritas muslimin kala itu. Dua faktor urgen tersebut adalah imamah (kepemimpinan) dan kewajiban untuk merujuk kepada Ahlul Bayt a.s. dalam segala bidang ilmu pengetahuan.
Mereka meyakini bahwa Rasulullah SAWW adalah penutup semua nabi dan para imam a.s. tersebut --berdasarkan hadis-hadis mutawatir yang disabdakan olehnya-- berjumlah dua belas orang, tidak lebih dan tidak kurang.
Mereka juga meyakini bahwa Al Quran mencakup semua hukum yang diperlukan oleh kehidupan manusia dan hukum-hukum tersebut tidak akan pernah mengalami perubahan dan renovasi. Bahkan hukum-hukum tersebut adalah kekal dan abadi hingga hari kiamat.
Dari sini dapat diketahui perbedaan mendasar antara Syi’ah Imamiah, Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Ismailiyah. Syi’ah Zaidiyah meyakini bahwa imamah bukanlah hak prerogatif Ahlul Bayt a.s. dan para imam tidak berjumlah dua belas orang serta mereka tidak mengikuti fiqih Ahlul Bayt a.s. Sementara, Syi’ah Ismailiyah meyakini bahwa para imam berjumlah tujuh orang, Rasulullah SAWW bukanlah penutup para nabi dan hukum-hukum syari’at bisa dirubah. Bahkan menurut keyakinan Bathiniyah kewajiban manusia sebagai makhluk Allah (taklif) bisa dihapus total.
E.     Kesesatan Syi’ah
 Di kalangan Syiah, terkenal klaim 12 Imam atau sering pula disebut “Ahlul Bait” Rasulullah Muhammad saw;  Diantara nya : 
  1. Ali bin Abi Thalib (600661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
  2. Hasan bin Ali (625669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
  3. Husain bin Ali (626680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
  4. Ali bin Husain (658713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
  5. Muhammad bin Ali (676743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
  6. Jafar bin Muhammad (703765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
  7. Musa bin Ja'far (745799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim
  8. Ali bin Musa (765818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha
  9. Muhammad bin Ali (810835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi
  10. Ali bin Muhammad (827868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi
  11. Hasan bin Ali (846874), juga dikenal dengan Hasan al-Askari
  12. Muhammad bin Hasan (868—), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi
penganutnya mendakwa hanya dirinya atau golongannya yang mencintai dan mengikuti Ahlul Bait. Klaim ini tentu saja ampuh dalam mengelabui kaum Ahli Sunnah, yang dalam ajaran agamanya, diperintahkan untuk mencintai dan menjungjung tinggi Ahlul Bait. Padahal para imam Ahlul Bait berlepas diri dari tuduhan dan anggapan mereka. Tokoh-tokoh Ahlul Bait (Alawiyyin) bahkan sangat gigih dalam memerangi faham Syi’ah, seperti mantan Mufti Kerajaan Johor Bahru, Sayyid Alwi bin Thahir Al-Haddad, dalam bukunya “Uqud Al-Almas.”
Adapun beberapa kesesatan Syiah yang telah nyata adalah:
  1. Keyakinan bahwa Imam sesudah Rasulullah saw. Adalah Ali bin Abi Thalib, sesuai dengan sabda Nabi saw. Karena itu para Khalifah dituduh merampok kepemimpinan dari tangan Ali bin Abi Thalib r.a.
  2. Keyakinan bahwa Imam mereka maksum (terjaga dari salah dan dosa).
  3. Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam yang telah wafat akan hidup kembali sebelum hari kiamat untuk membalas dendam kepada lawan-lawannya, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah dll.
  4. Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam mengetahui rahasia ghaib, baik yang lalu maupun yang akan datang. Ini berarti sama dengan menuhankan Ali dan Imam.
5.      Keyakinan tentang ketuhanan Ali bin Abi Thalib yang dideklarasikan oleh para pengikut Abdullah bin Saba’ dan akhirnya mereka dihukum bakar oleh Ali bin Abi Thalib sendiri karena keyakinan tersebut.
  1. Keyakinan mengutamakan Ali bin Abi Thalib atas Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Padahal Ali sendiri mengambil tindakan hukum cambuk 80 kali terhadap orang yang meyakini kebohongan tersebut.
  2. Keyakinan mencaci maki ara sahabat atau sebagian sahabat seperti Utsman bin Affan (lihat Dirasat fil Ahwaa’ wal Firaq wal Bida’ wa Mauqifus Salaf minhaa, Dr. Nashir bin Abd. Karim Al Aql, hal.237).
  3. Pada abad kedua Hijriah perkembangan keyakinan Syi’ah semakin menjadi-jadi sebagai aliran yang mempunyai berbagai perangkat keyakinan baku dan terus berkembang sampai berdirinya dinasti Fathimiyyah di Mesir dan dinasti Sofawiyyah di Iran. Terakhir aliran tersebut terangkat kembali dengan revolusi Khomaeni dan dijadikan sebagai aliran resmi negara Iran sejak 1979.
Saat ini figur-figur Syiah begitu terkenal dan banyak dikagumi oleh generasi muda Islam, karena pemikiran-pemikiran yang lebih banyak mengutamakan kajian logika dan filsafat. Namun, semua jamaah Sunnah wal Jamaah di seluruh dunia, sudah bersepakat adanya bahwa Syiah adalah salah satu gerakan sesat.   




1.      KHAWARIJ

A.    Pengertian
Khawārij (Arab: خوارج baca Khowaarij, secara harfiah berarti "Mereka yang Keluar") ialah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-7, terpusat di daerah yang kini ada di Irak selatan, dan merupakan bentuk yang berbeda dari Sunni dan Syi'ah. Kata ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin ( 37H / 657 ).
Disebut atau dinamakan Khowarij disebabkan karena keluarnya mereka dari dinul Islam dan pemimpin kaum muslimin[7]
Awal keluarnya mereka dari pemimpin kaum muslimin yaitu pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib ketika terjadi (musyawarah) dua utusan. Mereka berkumpul disuatu tempat yang disebut Khouro (satu tempat di daerah Kufah). Oleh sebab itulah mereka juga disebut Al Khoruriyyah[8]  
Jadi, nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual (mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Baqarah : 207. Selain itu, ada juga istilah lain yang dipredikatkan kepada mereka, seperti Haruriah, yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura, dan Muhakkimah, karena seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalimat “la hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain hukum Allah), atau “la hakama illa Allah” (tidak ada pengantara selain Allah).
Secara historis Khawarij adalah Firqah Bathil yang pertama muncul dalam Islam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al‑Fatawa,
“Bid’ah yang pertama muncul dalam Islam adalah bid’ah Khawarij.”
Kemudian hadits‑hadits yang berkaitan dengan firaq dan sanadnya benar adalah hadits‑hadits yang berkaitan dengan Khawarij sedang yang berkaitan dcngan Mu’tazilah dan Syi’ah atau yang lainnya hanya terdapat dalam Atsar Sahabat atau hadits lemah, ini menunjukkan begitu besarnya tingkat bahaya Khawarij dan fenomenanya yang sudah ada pada masa Rasulullah saw. Di samping itu Khawarij masih ada sampai sekarang baik secara nama maupun sebutan (laqob), secara nama masih terdapat di daerah Oman dan Afrika Utara sedangkan secara laqob berada di mana‑mana. Hal seperti inilah yang membuat pembahasan tcntang firqah Khawarij begitu sangat pentingnya apalagi buku‑buku yang membahas masalah ini masih sangat sedikit, apalagi Rasulullah saw. menyuruh kita agar berhati‑hati terhadap firqah ini.  

B.     Latar Belakang Munculnya khawarij   

Kaum khawarij adalah orang-orang gurun yang sangat panatik beragama tapi tanpa disertai pemahaman yang benar. Mereka berani mengkafirkan kaum muslim lainnya yang tidak sepandangan dengan mereka. Malah, meeka pun menghalalkan darah kaum muslimin yang tidak sealiran. Sebenernya, kaum khawarij ini pertama kali merupakan pengikut-pengikut Ali, karena ketertarikan mereka terutama dengan kezuhudan Ali. Mereka memang sangat terkenal sebagai orang yang berpuasa di siang hari dan bangun di malam hariuntuk menunaikan shalat malam dan ibadah malam lainnya. Dahi mereka terkenal hitam, saking banyak sujudnya dan mata nya cekung karena seringnyapuasa dan menangis. Ketika terjadi perang jamal dan perang shiffin, kaum khawarij merupakan prajurit-prajurit Ali yang gagah berani. Ketika Mu’awiyah mengajukan “Tahkim” dengan mengangkat musha Al-qur’an, sebagai isyarat ajakan damai, Ali membaca gelagat Mu’awiyah dan jendral Amr bin Ash yang licik. Ali tetap melanjutkan perangnya dan mendorong para pengikutnya untuk tetap berperang. Tapi, karena kaum khawarij adalah orang-orang yang panatik dalam beragama, mereka tidak membaca motif dibalik pengankatan musha itu. Mereka memandang tindakan Mu’awiyahitu sebagai tindakan yang terpuji yang patut di percaya. Mereka pun mendesak Ali untuk menerima tahkim. Mau tidak mau, Ali  terpaksa menerima tahkim. Ali kemudian mengajukan Abdullah bin Abbas  sebagai hakimnya, seseorang yang memang diramalkan nabi akan sangat mengerti al-qur’an. Tapi, lagi-lagi kaum khawarij menolak Abdullah, seraya mengajukan Abu Musa Al-Asy’ari, seorang tua yang dianggap Ali sebagai tidak mengerti politik . Lagi-lagi Ali terpaksa menuruti kehendak kaum yang ahli beribadat itu.
Sudah dapat dipastikan, perundingan akan gagal. Memang benar, Abu Musa meminta Amrbin Ash’, hakim dari pihak Mu’awiyah, untuk mencopot Mua’awiyah dari jabatannya dan ia pun mencopot Ali dari jabatan khalifah. Selesai berpidato, Amr bin Ash’ tampil menyatakanmenerima pengunduran khaliah Ali, tapi tudak mencopot Mu’awiyah. Tentu saja Abu Musa tidak menerima taktik licik itu, dan Ali pun melanjutkan peperanagnnya.
 Atas peristiwa itu, kaum khawarij kemudian berubah pendirian. Kini mereka mengecam para pelaku tahkim, yang justru sebelum nya sangat diinginkannya. “kalian semuanya telah menjadi kafir dengan menghakimkan manusia sebagai ganti memperhakimkan Allah diantara kalian!”. Itulah kata-kata yang yang diungkapkan para tokoh khawarij. Beberapa waktu kemudian mereka menjadi orang yang sangat ekstrim dalam pendapat-pendapatnya dan sangat jauh melewati batas. Karena watak mereka yang sangat keras, kini mereka menyerukan penyerangan kepada setiap orang yang berlawanan  pendapat dengan mereka dan melakukan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah yang dzalim (tidak sah). Dala, waktu yang lama, mereka melakukan keonaran dan pembunuhan dimana-man hingga musnahnya para pengikut aliran ini dimasa dinasti bani Abbasiah. Sayidina Ali pun syahid dibunuh oleh kaum khawarij.    


C.    Penyebaran Khawarij  

Asy-Syihristani mendefinisikan bahwa Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari Imam yang berhak yang telah disepakati oleh masyarakat[9] Kelompok Khawarij yang pertama adalah Al-Muhakkimah (Syuroh/Haruriyyah) yaitu pengikut Ali yang memisahkan diri karena tidak setuju adanya perdamaian antara beliau dengan Muawiyah saat perang Siffin. Mereka ini menganggap Ali dan orang-orang yang  menyetujui perdamaian tadi adalah orang-orang kafir
dan halal darahnya.
Kemudian Khawarij ini terpecah menjadi beberapa aliran, yang paling besar adalah Al-Azariqoh, An-Najdah, Al-'Ajaridah, Ash-Shufriyyah, dan Al-Ibadiyyah. Aliran terakhir ini yang paling moderat diantara aliran Khawarij dan masih terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, Umman dan Arabia Selatan Pendapat-pendapat mereka antara lain :

- Pelaku dosa besar adalah kafir
- Imam boleh dipilih dari suku apa saja asal ia sanggup menjalankannya.
- Keluar dari Imam adalah wajib apabila Imam tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
- Orang yang tidak sepaham dengan mereka bahkan anak istrinya boleh ditawan, dijadikan budak atau dibunuh (Al-Azariqoh) sedang menurut Al-Ibadiyah mereka bukan mukmin dan bukan kafir, karena itu boleh bermuamalat dengan mereka, dan membunuh mereka adalah haram.
- Anak-anak orang kafir berada di neraka (Al- Azariqoh)
- Membatalkan hukum rajam karena tidak ada dalam al-Quran (Al-Azariqoh)
- Surat Yusuf bukan termasuk al-Quran karena mengandung cerita cinta (Al-'Ajaridah)
D.    Cabang dari Aliran Khawarij

Akibat perbedaan pendapat di antara tokoh-tokohnya, Khawarij terpecah menjadi beberapa sekte, antara lain:
·      Sekte Muhakkimah,
yang merupakan sekte pertama, yakni golongan yang memisahkan diri dari 'Ali bin Abi Thalib.
Al-Muhakkimah adalah mereka yang keluar dari barisan ali ketika berlangsung peristiwa tahkim (arbitrase) dan kemudian berkumpul disuatu tempat yang bernama harura, bagian dari negerikufah. Pimpinan mereka diantaranya Abdullah bin Al-Kawa, Utab bin al-A’war, Abdullah bin wahab al-Rasiby. Al-Muhakkimah ini adalah golongan khawarij pertama yang terdiri dari pengikut ali, merekalah yang berpendapat bahwa ali, muawwiyah, kedua pengantar-Amr ibnu al-Ash dan Abu Musa al-Asy’ari serta semua orang yang menyetujui tahkim (arbitrase) sebagai orang yang bersalah dan menjadi kafir.  
Demikian orang yang berbuat zina menurut mereka dosa besar, kafir, dan keluar dari islam. Begitu pula orang yang membunuh sesama manusia tanpa sebab-sebab yang sah adalah dosa besar, keluar dari islam dan menjadi kafir. Demikian pula dengan dosa-dosa besar lainnya, dapat mengakibatkan keluar dari islam dan kafir.
·      Sekte Azariqoh yang lebih radikal, sebab orang yang tidak sepaham dengan mereka dibunuh.
Al-Azariqah adalah bagian dari golongan khawarij yang dapat menyusun barisan baru yang besra dan kuatdaerah kekuasaannya terletak diperbatsan irak dan iran. Jika muhakkimah dinisbatkan pada peristiwa tahkim, maka nama al-Zariqah dinisbatkan pada tokohnya bernama nafi’ ibn al-Azraq, para pengikut golongan ini, menurut al-baghdadi berjumlah lebih dari dua puluh ribu orang. Khalifah yang pertama yang mereka pilih adalah nafi’ sendiri, dan kepadanya mereka memberi gelar Amir al-Mu’minin. Tokoh ini kemudian wafat pada pertempuran diirak pada tahun 686 M. (al-Syahrastani…..hlm, 118)
Sub sekte al-Zariqah ini, sikapnya lebih radikal dari al=Muhakkimah. Mereka mengubah term kafir menjadi term musyrik atau polytheis dan term yang disebut terakhir ini lebih tinggi kedudukannya daripada kufur. Keradikalan sub sekte ini antara lain terlihat pada pendapat-pendapatnya, seperti boleh membunuh anak kecil yang tak sealiran dengan mereka, menghukum anak-anak orang musyrik didalam neraka beserta orang tuanya, orang-orang yang melakukan dosa besar dan dan dosa kecil secara kontinue dapat menjadi kafir, orang yang melakukan dosa besar disebut kafir millah, keluar dari islam secara total dan kekal dalam neraka beserta orang kafir. (al-Syahrastani…..hlm,121-122)
·   Sekte Najdat 
.  Berlainan denga al-Zariqah, Najdah berpendapat bahwa orang yang berdosa besar dan dapat menjadikafir serta kekal dalam neraka hanyalah orang islam yang tak sepaham dengan golongannya. Sedangkan pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, betul akan mendapatkan balasan siksa, tetapi bukan dalam neraka dan kemudian akan masuk surga.
Seterusnya mereka berpendapat bahwa yang diwajibkan bagi setiap orang islam ialah mengetahui Allah dan Rasul-Nya, mengetahui haram membunuh orang islam dan percaya kepada seluruh apa yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya itu. Orang yang tidak mengetahui semua ini tidak dapat diampuni dosanya.



Dipimpin 'Abd Karim bin Ajrad, yang dalam perkembangannya terpecah menjadi beberapa kelompok kecil seperti Syu'aibiyyah, Hamziyyah, Hazimiyyah, Maimuniyyah, dll.
Perpecahan itulah yang menghancurkan aliran Khawarij. Satu-satunya yang masih ada, Ibadi dari Oman, Zanzibar, dan Maghreb menganggap dirinya berbeda dari yang lain dan menolak disebut Khawarij.

E.     Sifat-sifat Khawarij
1. Mencela dan Menyesatkan
Orang‑orang Khawarij sangat mudah mencela dan menganggap sesat Muslim lain, bahkan Rasul saw. sendiri dianggap tidak adil dalam pembagian ghanimah. Kalau terhadap Rasul sebagai pemimpin umat berani berkata sekasar itu, apalagi terhadap Muslim yang lainnya, tentu dengan mudahnya mereka menganggap kafir. Mereka mengkafirkan Ali, Muawiyah, dan sahabat yang lain. Fenomena ini sekarang banyak bermunculan. Efek dari mudahnya mereka saling mengkafirkan adalah kelompok mereka mudah pecah disebabkan kesalahan kecil yang mereka perbuat.
2. Buruk Sangka
Fenomena sejarah membuktikan bahwa orang‑orang Khawarij adalah kaum yang paling mudah berburuk sangka. Mereka berburuk sangka kepada Rasulullah saw. bahwa beliau tidak adil dalam pembagian ghanimah, bahkan menuduh Rasulullah saw. tidak mencari ridha Allah. Mereka tidak cukup sabar menanyakan cara dan tujuan Rasulullah saw. melebihkan pembesar‑pembesar dibanding yang lainnya. Padahal itu dilakukan Rasulullah saw. dalam rangka dakwah dan ta’liful qulub. Mereka juga menuduh Utsman sebagai nepotis dan menuduh Ali tidak mempunyai visi kepemimpinan yang jelas.
3. Berlebih‑lebihan dalam ibadah
Ini dibuktikan oleh kesaksian Ibnu Abbas. Mereka adalah orang yang sangat sederhana, pakaian mereka sampai terlihat serat‑seratnya karena cuma satu dan sering dicuci, muka mereka pucat karena jarang tidur malam, jidat mereka hitam karena lama dalam sujud, tangan dan kaki mereka ‘kapalan’. Mereka disebut quro’ karena bacaan Al-Qur’annya bagus dan lama. Bahkan Rasulullah saw. sendiri membandingkan ibadah orang‑orang Khawarij dengan sahabat yang lainnya, termasuk Umar bin Khattab, masih tidak ada apa‑apanya, apalagi kalau dibandingkan dengan kita. Ini menunjukkan betapa sangat berlebih‑lebihannya ibadah mereka. Karena itu mereka menganggap ibadah kaum yang lain belum ada apa-apanya.
4. Keras terhadap sesama Muslim dan memudahkan yang lainnya
Hadits Rasulullah saw. menyebutkan bahwa mereka mudah membunuh orang Islam, tetapi membiarkan penyembah berhala. Ibnu Abdil Bar meriwayatkan, “Ketika Abdullah bin Habbab bin Al‑Art berjalan dengan isterinya bertemu dengan orang Khawarij dan mereka meminta kepada Abdullah untuk menyampaikan hadits‑hadits yang didengar dari Rasulullah saw., kemudian Abdullah menyampaikan hadits tentang terjadinya fitnah,
“Yang duduk pada waktu itu lebih baik dari yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari yang berjalan….”
Mereka bertanya, “Apakah Anda mendengar ini dari Rasulullah?” “Ya,” jawab Abdullah. Maka serta-merta mereka langsung memenggal Abdullah. Dan isterinya dibunuh dengan mengeluarkan janin dari perutnya.
Di sisi lain tatkala mereka di kebun kurma dan ada satu biji kurma yang jatuh kemudian salah seorang dari mereka memakannya, tetapi setelah yang lain mengingatkan bahwa kurma itu bukan miliknya, langsung saja orang itu memuntahkan kurma yang dimakannya. Dan ketika mereka di Kuffah melihat babi langsung mereka bunuh, tapi setelah diingatkan bahwa babi itu milik orang kafir ahli dzimmah, langsung saja yang membunuh babi tadi mencari orang yang mempunyai babi tersebut, meminta maaf dan membayar tebusan.
5. Sedikit pengalamannya
Hal ini digambarkan dalam hadits bahwa orang‑orang Khawarij umurnya masih muda‑muda yang hanya mempunyai bekal semangat.
6. Sedikit pemahamannya
Disebutkan dalam hadits dengan sebutan Sufahaa-ul ahlaam (orang bodoh), berdakwah pada manusia untuk mengamalkan Al‑Qur’an dan kembali padanya, tetapi mereka sendiri tidak mengamalkannya dan tidak memahaminya. Merasa bahwa Al‑Qur’an akan menolongnya di akhirat, padahal sebaliknya akan membahayakannya.
7. Nilai Khawarij
Orang‑orang Khawarij keluar dari Islam sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw., “Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.”
8. Fenomena Khawarij
Mereka akan senantiasa ada sampai hari kiamat. “Mereka akan senantiasa keluar sampai yang terakhir keluar bersama Al‑Masih Ad‑Dajjal”
9. Kedudukan Khawarij
Kedudukan mereka sangat rendah. Di dunia disebut sebagai seburuk-buruk makhluk dan di akhirat disebut sebagai anjing neraka.
10. Sikap terhadap Khawarij
Rasulullah saw. menyuruh kita untuk membunuh jika menjumpai mereka. “Jika engkau bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka.”






















3. Mu’tazilah

A.Pengertian 

Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya menunjukkan kesendirian, kelemahan, keputus-asaan, atau mengasingkan diri[10]. Dalam Al-Qur’an, kata-kata ini diulang sebanyak  sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama yaitu al ibti’âd ‘ani al syai-i (menjauhi sesuatu) seperti dalam ayat:

فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَ ْلقَوْا اِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلاً

Artinya:

“Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. An-Nisa’: 90)

Sedang secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri.


a.      Latar Belakang Muncul Mu’tazilah

Pada masa pemerintah Al-ma’mun (dinasti Bani Abbasiah) filsafat Yunani mulai masuk kedalam pemikiran islam. Ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang dengan pesat. Namun membawa pula problema teologis baru. Dan ilmu kalam dimaksudkan untuk mengantisipasi persoalan-persoalan yang muncul, dan sekaligus dimaksud untuk melindungi  aqidah islamiyah dari rongrangan non muslim. Al-ma’mun melakukan kesalahan besar dengan menjadikan paham mu’tazilah sebagai paham resmi Negara, dan memaksakannya lewat inkuisisi (introgasi aqidah) atas para ulama besar. Sehingga muncul reaksi balik yang pada gilirannya memukul Mu’tazilah, dan bahkan membuatnya lenyap dari panggung sejarah pemikiran islam. Ahl al-hadist (ortodoks-tekstualis), dibawah kepeloporan Ahmad bin hanbal, yang semula mendapat tekanan, akhirnya berada diatas angin. Sayang, mereka pun melakukan kesalahan yang sama. Ekstrem dibalas ekstrem, dan kaum muslimin kehilangan pegangan teologis yang amat menentukan langkah sebagai suatu umat. Dengan maksud menjadi penengah, lahirlah aliran Asy’ariyah, yang melalui tokoh-tokoh besar mereka, semisal Al-BAqillani, Al-Juwayni dan Al-Ghazali, serta dukungan dukungan penguasa (Nizham Al-mulk) dengan madrasah-madrasah Nizhamiyyahnya, menjadi aliran paling besar dan diterima oleh mayoritas umat hingga kini.  
Di Smarkand muncul pula Al-Maturidi yang lebih berinduk pada Imam Abu Hanifah. Aliran ini, terpecah dua, sebagian terselap oleh Mu’tazilah bangkit kembali melalui Dinasti Savawid (Savawiyah) dan dilanjutkan oleh Qadhi Abdul Jabbar, Al-Zamakhsyari (penyusun Tafsir al-Kasyasyaf), dan kelak Muhammad Abduh dan murid-muridnya.
Ahl Al-hadist yang kemudian menyebut dirinya kaum salaf, menemukan pelanjutnya pada diri tokoh genius dan Harran, Ibnu taimiyyah. Pandangan Taimiyyah cukup popular di indo-pakistan pada abad ke 18-19 melalui gerakan syari’ah yang dipimpin oleh Putra syah Waliyullah Al-Dehlawi. Paada era modern kita temukan aliran ini pada diri Rasyid ridha dan aliran Wahabiyah. Di Indonesia, ajaran ini cukup banyak di serap oleh muhammadiyah dan persis. Sementara, nahdatul ulama lebih bercorak Asy’ariyyah. Adalah tidak benar bila dikatakan bahwa muhammadiyah dan persis terpengaruh oleh persis. Muhammad abduh sangat  terpengaruh oleh Mu’tazilah. Dan ajarannya dilanjutkan oleh Ahmad Amien, Husein Haekal, dan lain-lain. Rasyid Ridha sesungguhnya adalah murid Abduh. Namun pengaruh Ibnu Taimiyyah jauh lebih kuat terhadap dirinya ketimbang pengaruh dari gurunya tersebut. Belakangan, muncul sayyid Quthb yang mulai melakukan talfiq antara Mu’tazilah dengan salaf. Sementara itu, pelanjut-pelanjut Asy’ariyyah diberbagai penjurumulai melakukan revisi-revisi.
Pada akhirnya, ketika pemikiran kalam (teologi islam) memasuki abad modern, sudah tidak ada satu aliran klasik pun yang bisa disebut masih hidup dalam bentuknya yang asli. Karena itu, kita menjadi sulit untuk menyebut pemikiran-pemikiran yang diperkenalkan oleh para pemikir muslim dalam bidang ini sebagai berinduk pada aliran-aliran klasik sebelumnya. Aliran Syi’ah sudah muncul sejak zaman Rasulullah SAW, aliran ini terbilang paling kreatif dalam bidang kalam (teologi islam) yang dibuktikan dengan produk-produk pemikiran yang selalu berkembang. Rasionalisme yang dimilikinya lebih dekatpada Mu’tazilah, tetapi filsafatnya yang lebih terpengaruholeh mulla shadra, membuatnya memiliki banayak kemiripan dengan apa yang selama ini diklaim para penganut Asy’ariyyah sebagai ajaran mereka.


B.     Penyebaran Mu’tazilah
Asal mula kata ini adalah suatu saat ketika al-Hasan al- Bahsriy (110 H) sedang mengajar di masjid Basrah datanglah seorang laki-laki bertanya tentang orang yang berdosa besar. Maka ketika ia sedang berpikir menjawablah salah satu muridnya Wasil bin Atha' (131 H) menjawab : "Saya berpendapat bahwa ia bukan mukmin dan bukan kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya". Kemudian ia menjauhkan diri dari majlis al-Hasan dan pergi ketempat lain dan mengulangi pendapatnya. Maka al-Hasan menyatakan : Washil menjauhkan diri dari kita (I'tazal 'anna). 11 Pendapat-pendapat mereka : 

- Orang Islam yang berdosa besar bukan kafir dan bukan mukmin tetapi berada di antara keduanya (al-Manzilah bainal manzilatain)
- Tuhan bersifat bijaksana dan adil, tidak dapat berbuat  jahat dan zalim. Manusia sendirilah yang memiliki kekuatan untuk mewujudkan perbuatannya perbuatannya, yang baik dan jahat, iman dan  kufurnya, ta'at dan tidaknya.
- Meniadakan sifat-sifat Tuhan, artinya sifat Tuhan tidak mempunyai wujud sendiri di luar zat Tuhan
- Baik dan buruk dapat ditentukan dengan akal
- Al-Quran bukan qadim (kekal) tetapi hadits (baru /diciptakan)
- Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat nanti
- Hanya mengakui Isra Rasulullah ke Baitul Maqdis tetapi tidak mengakui Mi'rajnya ke langit
- Tidak mempercayai wujud Arsy dan Kursi Allah, Malaikat pencatat amal (Kiraman Katibiin), Adzab (siksa) kubur.
- Tidak mempercayai adanya Mizan (timbangan amal), Hisab (perhitungan amal), Shiratul Mustaqiim (Titian), Haud (kolam nabi) dan Syafa'at nabi di hari Kiamat.
- Siksaan di neraka dan kenikmatan di surga tidak kekal (ikut sebagian kelompok)
C. Aliran dan cabang Mu’tazilah
Gerakan kaum Mu`tazilah pada mulanya memiliki dua cabang yaitu :
1. Di Basrah (Iraq) yang dipimpin oleh Washil Ibn Atha` dan Amr Ibn Ubaid dengan murid muridnya, yaitu Ustman bin Ath Thawil , Hafasah bin Salim dll. Ini berlangsung pada permulaan abad ke 2 H. Kemudian pada awal abad ke 3 H wilayah Basrah dipimpin oleh Abu Huzail Al-Allah (wafat 235), kemudian Ibrahim bin Sayyar (211 H) kumudian tokoh Mu`tazilah lainnya.
9.   Di Bagdad (iraq) yang dipimpin dan didirikan oleh Basyir bin Al-Mu`tamar salah seorang pemimpin Basrah yang dipindah ke Bagdad kemudian mendapat dukungan dari kawan-kawannya, yaitu Abu Musa Al- Musdar, Ahmad bin Abi Daud dll.
Inilah imam-imam Mu`tazilah di sekitar abad ke 2 dan ke 3 h. DI Basrah dan di Bagdad, khalifah-khalifah Islam yang tereang-terangan menganut aliran ini dan mendukunhnya adalah :
1.Yazid bin Walid (Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada tahun 125-126 H)
2.Ma`mun bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 198-218 H)
3.Al- Mu`tashim bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H)
4.Al- Watsiq bin Al- Mu`tashim (Khalifah Bani Abbasiah 227-232 H)
Diantara gembong-gembong ulama Mu`tazilah lainya adalah :
1.Utsman Al- Jahidz, pengarang kitab Al- Hewan (wafat 255 H)
2.Syarif Radhi (406 H)
3.Abdul Jabbar bin Ahmad yang terkenal dengan sebutan Qadhi`ul Qudhat.
4.Syaikh Zamakhsari pengarang tafsir Al- Kasysyaf (528 )
5.Ibnu Abil Hadad pengarang kitab Syarah Nahjul Balaghah (655)


D.    Kesesatan – kesesatan Mu’tazilah
1.Tauhid, memiliki arti “Penetapan bahwa Al-Quran itu adalah makhluk” sebab jika Al-Quran bukan makhluk, berarti terjadi sejumlah zat qadiim (menurut mereka Allah adalah Qadiim, dan jika Al-Quran adalah Qadiim, berarti syirik/ tidak bertauhid)
2.Al-Adl, memiliki Arti “Pengingkaran terhadap taqdir” sebab seperti kata mereka bahwa Allah tidak menciptakan keburukan dan tidak mentaqdirkan nya, apabila Allah menciptakan keburukan, kemudian Dia menyiksa manusia karena keburukan yang diciptakannya, berarti Dia berbuat zalim, sedang Allah adil dan tidak berbuat zalim.
3.Al- Wa`du Wal Wa`iid (terlaksananya ancaman), maksudnya adalah apabila Allah mengancam sebagian hamba-Nya dengan siksaan, maka tidak boleh bagi Allah untuk tidak menyiksa-Nya dan menyelisih ancaman-Nya, sebab Allah tidak menginginkan janji, artinya- menurut mereka Allah tidak memaafkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan tidak mengampuni dosa-dosa (selain syirik) bagi yang dikehendaki-Nya. Hal ini jelas bertentangan dengan Ahlus Sunnah Waljama`ah.
4.Al-Manzilah Baina Manzilatain, Artinya orang yang berbuat dosa besar berarti keluar dari iman tetapi tidak masuk kedalam kekufuran, akan tetapi ia berada dalam satu posisi antara dua keadaan (tidak mukmin dan tidak juga kafir)
5.Amar Ma`ruf Nahi Munkar, yaitu bahwa mereka wajib memerintahkan golongan selain mereka untuk melakukan apa yang mereka lakukan dan melarang golongan selain mereka apa yang dilarang bagi mereka.

Beberapa I`tiqad kaum Mu`tazilah yang bertentangan dengan Ahlus Sunnah yaitu :
1.Mereka berpendapat bahwa baik buruknya sesuatu ditentukan oleh akaln dan bukan oleh syari`at. Dengan demikian dalam pandangan mereka akal menduduki kedudukan yang lebih tinggi dari pada syari`at.
2.Mereka mengatakan bahwa tidak memiliki sifat. Apa yang tercantum dalam Al- Quran dan sunnah berupa asma dan sifat Allah merupakan sekedar nama yang tidak memiliki pengaruh sedikitpun dari nama tersebut. Dengan demikian mereka menafikan adanya sifat-sifat tinggi dan mulia bagi Allah.
3.Mereka berpendapat bahwa Al-Quran adalah makhluk. Ahlus Sunnah berpendapat dan bersepakat bahwa Al- Quran bukan makhluk.
4.Mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar dari golongan mukmin, maka dia tidak disebut lagi sebagai seorang mukmin, namun juga tidak disebut kafir. Ahlus sunnah berpendapat bahwa seorang mukmin yang berbuat dosa besar , ia tetap sebagai mukmin yang berbuat kefasikan .
5.Mereka berpendapat bahwa Allah tidak dapat dilihat nanti pada hari kiamat (ketika dalam surga), karena hal itu akan menimbulkan pendapat, seolah-olah Allah berada dalam surga atau Allah dapat dilihat. Ahlus Sunnah berpendapat bahwa orang-orang beriman yang telah masuk surga akan dapat melihat Allah sesuai dengan (Q.S. Al- Qiyamah : 22-23).
6.Mereka tidak meyakini bahwa Nabi Muhammad mi`raj dengan ruh dan jasadnya.
7.Mereka berpendapat bahwa manusialah yang menjadikan pekerjaannya, dan Allah sama sekali tidak ikut campur dalam perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
8.Mereka tidak meyakini adanya `Arsy dan Kursi”. Mereka mengatakan bahwa jika keduanya benar-benar sebesar itu. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis, lalu diletakkan dimana kedua benda tersebut. Mereka mengatakan kedua benda tersebut hanyalah sekedar menggambarkan kebesaran dan keagungan Allah.
9. Mereka juga tidak mengakui adanya malaikat “Kiraman Katibin” atau malaikat Rajib dan Atid. Mereka berpendapat bahwa ilmu Allah telah meliputi segalanya, sehingga tidak perlu lagi adanya pembantu dari kalangan malaikat.
10.Mereka tidak meyakini adanya mizan, hisab, shirat, al- haudh dan syafa`at pada hari kiamat kelak.

Aliran atau sekolah pemikiran yang menegaskan bahwa berasio dengan logika adalah azas yang paling baik dalam melakukan sesuatu tindakan ataupun menyelesaikan masalah. Dalam hubungannya dengan pemikiran Islam, rasiolisme merupakan aliran yang pertama muncul sebagai respon terhadap kitab ayat-ayat Al-Quran sehubungan dengan penggunaan akal
Aliran rasionalis ini seiring dihubungkan dengan Mu`tazilah yang dipelopori oleh Washil Ibn Atha` Al- Gazzal (689-749 M) murid kepada Hasan Al- Basri (642-728 H). Hasan Al- Basri adalah seorang tabiin dengan sering kali diberi julukan sebagai imam pada zamannya. Apbila dihubungkan dengan istilah salaf dan berpegang dengan sunah, Hasan A- Basri adalah salah seorang dari kalangan mereka.
4.Gagasan Rasionalisme/ Mu`tazilah.
Memberi keutamaan kepada akal dalam memahami ajaran Quran serta hadis. Kebebasan akal terikat pada ajaran-ajaran mutlak Quran dan Sunah, yaitu ajaran yang termasuk dalam istilah Qat`iy al-wurud dan Qat`iy al-dalalah.
Maksud Quran dan hadis difahami sesuai dengan pendapat akal.
“Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam Quran dan Hadis”. Oleh Prof. Harun Nasution.








4.Murji’ah  
A. Pengertian
KataMurji’ah” berasal dari kata “arja’a” atau “arja” yang mempunyai beberap pengertian diantaranya:
a.“Penundaan”,“Mengembalikan”umpamanya bagi orang yang sudah mukmin. Tapi berbuat dosa besar sehinggga matinya belum bertaubat, orang itu hukumanya di Tunda, dikembalikan Urusanya kepada Allah kelak.
b. “Memberi pengharapan”. Yakni bagi orang Islam yang melakukan dosa besar tidak dihukum kafir melainkan tetap mukmin dan masih ada harapan untuk memperoleh pengampunan dari Allah.
c. “Menyerahkan”maksudnya menyerahkan segala persoalah tentang siapa yang benar dan siapa yang salah hanya kepada keputusan Allah kelak. 

 Dari beberapa pengertian diatas bisa kita menyimpulkan tentang pengertian dari Murji’ah. Adapun yang di maksud kaum Murji’ah di sini ialah suatu golongan atau kaum orang-orang yang tidak mau ikut terlibat dalam mengkafirkan tehadap sesama umat Islam seperti dilakukan kaum Khawarij yang mengatakan bahwa semua yang terlibat dalam tahkim adalah kafir, dan mengatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar juga kafir. Bagi mereka, soal kafir atau tidaknya orang-orang yang terlibat dalam tahkim dan orang Islam yang berdosa besar, kita tidak tahu dan tidak dapat menentukan sekarang. Mereka mempunyai pandangan lebih baik menangguhkan penyelesain persoalan tersebut dan menyerahkanya kepada keputusan Allah di hari kemudian yakni pada hari perhitungan sesudah hari Kiamat nanti. Karena mereka berpendirian menangguhkan atau menunda persoalan tersebut, mereka kemudian disebut kaum Murji’ah.




B. Latar Belakang muncul Murji’ah
Golongan Murji’ah ini mula-mula timbul di Damaskus, pada akhir abad pertama hijrah. Dinamakan “Murji’ah” karena golongan ini menunda atau mengembalikan tentang hukum orang mukmin yang berdosa besar dan belum bertobat sampai matinya, orang itu belum dapat dihukumi sekarang. Ketentuan persoalannya ditunda atau dikembalikan terserah kepada Allah di hari akhir nanti.
Lahirnya aliran Murji’ah disebabkan oleh kemelut politik setelah meninggalnya Khalifah Utsman bin Affan, yang di ikuti oleh kerusuhan dan pertumpahan darah. Kemelut polotik itu berlanjut dengan terbunuhnya Khalifah Ali yang diikuti pula kerusuhan dan pertumpahan darah. Di saat-saat demikian, lahirlah aliran Syi’ah dan aliran Khawarij. Syi’ah menentang Bani Umayah karena membela Ali dan Bani Umayyah dianggap sebagai penghianat, mengambil alih kekuasaan dengan cara penipuan.[11]
Di antara Syi’ah dan Khawarij di satu pihak dan Bani Umayyah di pihak lain yang saling bermusuhan dan menumpahkan darah itu, tampillah segolongan yang di sebut Murji’ah.
Seperti halnya lahirnya aliran Khawarij, demikian juga halnya munculnya aliran Murji’ah adalah dengan latar belakang politik. Sewaktu pusat pemerintahan Islam pindah ke Damaskus. Maka mulai kurang taatnya beragama kalangan penguasa Bani Umauyyah, berbeda dengan Khulafur-Rasyidin. Tingkah laku pengusa tampak semakin kejam. Sementara ummat Islam bersikap diam saja.  Timbul persoalan: “Bolehkah ummat Islam berdiam saja dan wajibkah kepada khalifah yang dianggapnyazalim?”.
Orang-orang murjiah berpendapat bahwa seorang muslim boleh saja shalat di belakang seorang yang sholeh ataupun di belakang orang fasiq. Sebab penilaian baik dan buruk itu terserah kepada Allah. Soal ini mereka tangguhkan dan karena itu pulalah mereka dinamakan golongan Murji’ah yang yang berarti melambatkan atau menagguhkan tentang balasan Allah sampai nanti.
Dipandang dari sisi politik, pendapat golongan Murji’ah memang menguntungkan penguasa Bani Umayyah. Sebab dengan demikian berarti membendung kemungkinan terjadinya pemberontakan terhadap  Bani Umayyah sekalipun khalifah dan pembantu-pembantunya itu kejam, toh mereka itu muslim juga. Pendapat ini berbeda dengan pendirian golongan khawarij yang mengatakan bahwa berbuat zalim, berdosa besar itu adalah kafir.
Pada masa pemerintahan Umar Bin Khattab beberapa daerah takluk ke dalam kekuasaannya. Syria jatuh pada tahun 638 M, disusul Mesir pada 641M, lalu Persia 642 M jatuh ketangan ummat Islam. Berarti ada tiga kerajaan besar dengan kekayaan yang cukup dan tinggi peradabanya, masuk kedalam kekuasaan Islam. Masing-masing daerah ini menjadi wilayah gubernur dengan pusat pemerintahan tetap di Madinah. Masing-masing daerah diperintah seorang gubernur.
Ada beberapa hal yang perlu di perhatikan. Bahwa meluasnya wilayah Islam ke tiga daerah tersebut:
·   Pertama, penduduk dari wilayah Persia, Syria dan Mesir itu masing-masing telah mengenal peradaban dan agama-agama lama seperti peradaban agama-agama Mesir, Babilon, Persia, Yahudi dan Nasrani juga peradaban keagamaan dan filsafat Yunani (Hellenisme dan Platonisme). Pengaruh Yunani terutama menjadi makin tampak disebabkan imperium Romawi Timur telah berabad-abad memerintah Syria dan Mesir, takala Khalifah Umar membebaskanya.
·   Kedua, setelah daerah-daerah ini masuk imperium Islam banyaklah penduduk-penduduk daerah itu yang menukar agamanya kepada Islam baik dengan jalan perkawinan ataupun dengan jalan pelajaran semata-mata. Hal ini terjadi dengan pesatnya terutama disebabkan pada zaman itu rakyat umum telah biasa untuk menuruti sikap pemimpin-pemimpinnya. Apalagi raja-rajanya, panglima-panglimanya atau pendeta dan orang-orang kayanya masuk Islam, maka mereka pun  masuk Islamlah pula.
Ke dua hal di atas tentu saja terpengaruh pada jalan pikiran umat Islam umumnya, sebab umat islam yang baru ini (rakyat-rakyat Persia, Mesir dan Syria) telah membaea  pula peradabannya dan cara-cara pemikiranya ke dalam tubuh masyarakat Islam sendiri.
Dan ini menjadi persoalanya baru pula di kalangan umat Islam. Harus diperiksa (diseleksi) manakala dari peradaban dan pemikiran itu sesuai dan dapat diterima Islam, dan mana pula yang bebeda, bertentangan dan di tolak oleh agama Islam.
Untuk itu terjadilah pertukaran pikiran di antara mereka. Dan dari sini timbullah perselisihan-perselisihan pendapat. Kalau dalam tubuh umat Islam Arab sendiri telah timbul benih-benih pembahasan dan perselisihan pendapat tentang soal-soal pemikiran (filsafat) keagamaan (soal qaddar Tuhan) maka dengan pembahasan-pembahasan baru ini menjadilah dunia pembahasan itu bertambah besar dan meluas. Melihat baik dilihat pada lingkungannya ataupun dilihat pada unsur-unsur yang terdapat di dalamnya.
Pembahasan itu makin menjadai-jadi dan telah berupa suatu pembicaraan soal ketuhanan yang khusus bersifat ilmu pengetahuan.Lalu timbullah istilah ilmu kalam yang berarti ilmu yang berbicara (berdebat) sebagai nama baru bagi Ilmu Tauhid atau Ilmu Ushuluddin yang telah ada.
C. Penyebaran Murji’ah
Kaum Murjiah yang muncul pada abad I Hijriyyah merupakan reaksi akibat adanya pendapat Syiah yang mengkafirkan sahabat yang menurut mereka merampas kekhalifahan dari Ali, dan pendapat Khawarij yang mengkafirkan kelompok Ali dan Muawiyah. Pada saat itulah muncullah sekelompok umat Islam yang menjauhkan dari pertikaian, dan tidak mau ikut mengkafirkan atau menghukum salah dan menangguhkan persoalannya sampai dihadapan Allah SWT. Pada asalnya kelompok tidak membentuk suatu madzhab, dan hanya membenci soal-soal politik, tetapi kemudian terbentuklah suatu madzhab dalam ushuluddin yang membicarakan tentang Iman, tauhid dan lain-alin. Pemimpin dari kaum Murjiah adalah Hasan bin Bilal (152 H). 8 Kaum Murji'ah dapat dibagi menjadi 2 yaitu :

a. Golongan moderat
Pendapat-pendapat mereka :
- Orang berdosa bukan kafir dan tidak kekal dalam neraka.

b. Golongan Ekstrim
Pendapat-pendapat mereka :
- Orang Islam yang percaya pada Allah kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidak menjadi kafir karena iman itu letaknya di dalam hati, bahkan meskipun melakukan ritual agama-agama lain.
- Yang dimaksud ibadah adalah iman, sedangkan shalat, puasa, zakat dan haji hanya menggambarkan kepatuhan saja
- Maksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat tidak merusak iman ( Al-Yunusiah)
- Menangguhkan hukuman orang yang berdosa diakhirat


D. Aliran dan Cabang Murji’ah
 Al Bagdhadi membagi aliran Murjiah kepada tiga golongan besar, yaitu:
a.       Murjiah dalam pengaruh faham Qadariah dengan pendukung-pendukungnya:
©   Ghailan
©   Abi Syamar
©    Muhammad bin Syahib al Basri

Mereka ini menganut paham kehendak bebas yang dikaitkan ketentuan-ketentuan efektif Tuhan terhadap setiap kejadian.

b.      Murjiah dalam pengaruh faham Jabariah dengan pendukung-pendukungnya:
©    Jaham bin Safwan

Yaitu yang menganut paham bahwa iman dan kufur adalah terletak di hati dan bukan terletak pada perbuatan manusia. Oleh karena itu, orang yang menyembah berhala dan matahari dianggap tetap beriman.[12]

c.       Murji’ah yang tidak dalam pengaruh faham Jabariah atau Qadariah dan mereka ini terbagi dalam lima golongan:
©   Yunusiah
©    Ghassaniah
©    Tsaubaniah
©    Thumaniah
©    Marisiah  






Tokoh-tokoh Murji’ah, di samping yang telah di sebutkan dalam pimpinan golongan-golongan di atas, dikenal pula:
©   Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib
©   Sa’id bin Zubair (seorang wara’ dan zuhud termasuk tabi’in)
©   Abu Hanifah (Imam Mazhab)
©    Abu Yusuf
©    Muhammad bin Hasan
©    Dan lain-lain dari ahli Hadis[13]
E.Kesesatan-kesesatan Murji’ah 
Secara umum kelompok Murji’ah menyusun teori-teori keagamaan yang independen, sebagai dasar gerakannya, yang intisarinya sebagai berikut :
(menurut Abu A’la Al-Maududi)[14]
              
1.  Iman
Adalah cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan Rasulnya saja. Adapun amal atau perbuatan, tidak merupakan sesuatu keharusan bagai adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap sebagai mukmin walaupun ia meninggalkan apa yang difardhukan kepadanya dan melakukan perbuatan-perbuatan dosa besar.

2. Dasar keselamatan
Adalah iman semata-mata. Selama masih ada iman dihati, maka setiap maksiat tidak akan mendatangkanmudharat ataupun gangguan atas diri seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia hanya cukup dengan menjauhkan diri syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
Dengan kata lain, kelompok murji’ah memandang bahwa perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, yang kemudian menngkat pada pengertian bahwa, hanyalah imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau tidak mukminnya seseorang; perbuatan-perbuatan tidak memiliki pengaruh dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati seseorang dan tidak diketahui manusia lain; selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak memiliki iman. Yang penting ialah iman yang ada dalam hati. Dengan demikian ucapan dan perbuatan- perbuatan tidak merusak iman seseorang.

Berkaitan dengan Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut[15] :

a) Penangguhan keputusan Ali dan Mu’awiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat.
b) Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidin.
c) Pemberian harapan (giving hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
d) Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (mazhab) para skeptis
dan empiris dari kalangan Helenis.
Harun Nasution menyebutkan ada empat ajaran pokok dalam doktrin teologi Murji’ah yaitu[16] :
a) Menunda hukuman atas Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Amr bn Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ ary yang terlibattahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
b) Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
c) menyerahkan meletakkan iman dari pada amal.
d) Memberikan pengaharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.

















[1] . Christopher M. Blanchard, "Islam: Sunni and Syi'ah, Conggressional Research Service, 2010 
[2] . Riwayat di Durul Mansur milik Jalaluddin As-Suyuti
[3] . Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu'ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin 'Ali Al-Awaji
[4] . Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm
[5] . Mengapa Kita Menolak Syiah, LPPI, hal 5
[6] . Sejarah perkembangan pemikiran dalam Islam, hal : 57

[7] . Fat, juz 12 hal. 283
[8] . Mu'jam Al-Buldan li Yaqut Al-Hamawi juz 2 hal. 245
[9] . Al-Milal wan Nihal, hal 114/Juz 1
[10] Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah, (Bairut: Darul Kitab, t.t), hal. 207 cet. X
[11] Ahmad Hanafi, Teologi Islam/Ilmu Kalam(Jakarta: PT Bulan Bintang, 1974),h. 10-11.
[12] Mulyono dan Bashori,Studi Ilmu Tauhid atau Kalam, h.122.
[13] Muhammad Laily Mansur, Pemikiran Kalam dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994) , 32-33
[14] Abdul A’la Al-Maududi, Al-Kholifah wa Al-Mulk, terj.Muhammad Al-Baqir, Mizan, Bandung 1994, hlm.279-80
[15] W.Montgomery Watt, Early Islam: Collected Articels, Eidenburg, 1990, hlm.181
[16] Nasution, Teologi Islam, op, cit, .hlm.22-3

0 komentar:

Post a Comment