IBlog Market

IBX5A43E631671FD

Sunday 29 June 2014

JALAN MENUJU ALLAH




TUGAS MAKALAH TASAWUF
KELOMPOK 7
Judul : JALAN MENUJU ALLAH
 







                       



Disusun oleh        :
1.    RONI SURYADI
2.    AGUNG SETIAWAN
3.    HERIANTO

                                   

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikumwarahmatullahiwabarakatuh.
Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alamat atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul ”Jalan menuju Allah”.
Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bias memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi. Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.





               Pekanbaru,  ............ 2014

Penyusun



DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………………………………………………………………………………………
Daftar Isi…………………………………………………………………………………………………
Bab I Pendahuluan
1.     Latar Belakang………………………………………………………………………………….
2.     Perumusan Masalah……………………………………………………………………………………
3.     Tujuan Makalah…………………………………………………………………………………....
4.     Manfaat Makalah……………………………………………………………………………………
Bab II Isi
A.    Pengertian Sabar........................................................................................................
B.    Pengertian Wara’.......................................................................................................
C.    Pengertian Zuhud......................................................................................................
D.    Pengertian Ridha.......................................................................................................
E.     Pengertian Tawakal...................................................................................................
F.     Pengertian Sykur.......................................................................................................

Bab III Penutup
1.     Kesimpulan………………………………………………………………………………
2.     Saran……………………………………………………………………………………..


Daftar Pustaka





BAB I
1.     Latar Belakang
            Rumusan Masalah

1.     Apa yang dimaksud dengan sabar, wara’, zuhud, Ridha, Tawakal, dan Syukur?
2.     Mengapa manusia sekarang tidak melakukan hal hal yang terasuk dalam perbuatan menuju jalan Allah SWT?
3.     Apa fungsi dari pembahasan ini?
4.     Apa yang harus kita lakukan untuk melakukan perbuatan yang berlandaskan jalan menuju jalan Allah SWT?

2.     Tujuan Makalah
1.     Terhindar dari perbuatan tersyirik tersebut
2.     Mengangkat manusia ke derajat paling tinggi dan mulia.
3.     Mengalirkan rasa kesederhanaan dan kesahajaan.
4.     Membuat manusia menjadi suci dan benar
5.     Memunculkan kepercayaan yang teguh dalam segala hal, tidak mempunyai hubungan khusus dengan siapapun atau apapun yang menyebabkan rusaknya iman.
6.     Tidak mudah putua asa dengan keadaan yang dihadapi.
7.     Menumbuhkan keberanian dalam diri manusia. Dalam hubungan ini ada dua hal yang membuat manusia menjadi pengecut, yaitu takut mati, dan pemikiran yang menyatakan bahwa ada orang lain selain Allah yang dapat mencabut nyawanya.
8.     Mengembangkan sikap cinta damai dan keadilan, menghalau rasa cemburu, dengki, dan iri hati.
9.     Menjadi taat dan patuh kepada hukum-hukum Allah.


3.     Manfaat Makalah
Semoga dengan menjelaskan apa yang di maksud sabar, wara’, zuhud, ridha, tawakal dan syukur, akan memberikan kita wawasan yang baik mengenai apa yang di maksud pembahasan ini, sehingga kita semangkin semangat untuk menjalani di jalan Allah SWT.


























                                                                        BAB II
A.    Pengertian Sabar
Ash-Shabr (sabar) secara bahasa artinya al-habsu (menahan), dan di antara yang menunjukkan pengertiannya secara bahasa adalah ucapan: "qutila shabran" yaitu dia terbunuh dalam keadaan ditahan dan ditawan. Sedangkan secara syari'at adalah menahan diri atas tiga perkara: yang pertama: (sabar) dalam mentaati Allah, yang kedua: (sabar) dari hal-hal yang Allah haramkan, dan yang ketiga: (sabar) terhadap taqdir Allah yang menyakitkan.
               
Sabar dalam bahasa Indonesia berarti : Pertama, tahan menghadapi cobaan seperti tidak lekas marah, tidak lekas putus asa dan tidak lekas patah hati, sabar dengan pengertian sepeti ini juga disebut tabah, kedua sabar berarti tenang; tidak tergesa-gesa dan tidak terburu-buru. Dalam kamus besar Ilmu Pengetahuan, sabar merupakan istilah agama yang berarti sikap tahan menderita, hati-hati dalam bertindak, tahan uji dalam mengabdi mengemban perintah-peintah Allah serta tahan dari godaan dan cobaan duniawi Aktualisasi pengertian ini sering ditunjukan oleh para sufi.

           Dalam pendekatan ilmu Fikih, sabar didefinisikan sebagai tabah, yakni dapat menahan diri dari melakukan hal-hal yang bertentangan dengan huum Islam, baik dalam keadaan lapang maupun sulit, mampu mengendalikan nafsu yang dapat menggoncangkan iman. Menurut Ibnu Qayyim sabar berarti menahan diri dari kelih kesah dan rasa benci, menahan lisan dari mengadu, dan menahan anggota badan dari tindakan yang mengganggu dan mengacaukan.










Sabar Dalam Al-Qur'an
Sabar Sebagaimana Digambarkan Dalam Al-Qur'an
Dalam al-Qur'an banyak sekali ayat-ayat yang berbicara mengenai kesabaran. Jika ditelusuri secara keseluruhan, terdapat 103 kali disebut dalam al-Qur'an, kata-kata yang menggunakan kata dasar sabar; baik berbentuk isim maupun fi'ilnya. Hal ini menunjukkan betapa kesabaran menjadi perhatian Allah SWT, yang Allah tekankan kepada hamba-hamba-Nya. Dari ayat-ayat yang ada, para ulama mengklasifikasikan sabar dalam al-Qur'an menjadi beberapa macam;
  Sabar merupakan perintah Allah SWT. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam QS.2: 153: "Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar."
Ayat-ayat lainnya yang serupa mengenai perintah untuk bersabar sangat banyak terdapat dalam Al-Qur'an. Diantaranya adalah dalam QS.3: 200, 16: 127, 8: 46, 10:109, 11: 115 dsb.
  Larangan isti'ja l(tergesa-gesa/ tidak sabar), sebagaimana yang Allah firmankan (QS. Al-Ahqaf/ 46: 35): "Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka…"
  Pujian Allah bagi orang-orang yang sabar, sebagaimana yang terdapat dalam QS. 2: 177: "…dan orang-orang yang bersabar dalam kesulitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa."
  Allah SWT akan mencintai orang-orang yang sabar. Dalam surat Ali Imran (3: 146) Allah SWT berfirman : "Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar."
  Kebersamaan Allah dengan orang-orang yang sabar. Artinya Allah SWT senantiasa akan menyertai hamba-hamba-Nya yang sabar. Allah berfirman (QS. 8: 46) ; "Dan bersabarlah kamu, karena sesungguhnya Allah itu beserta orang-orang yang sabar."
  Mendapatkan pahala surga dari Allah. Allah mengatakan dalam al-Qur'an (13: 23 - 24); "(yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): "Salamun `alaikum bima shabartum" (keselamatan bagi kalian, atas kesabaran yang kalian lakukan). Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu."

Adapun manfaat dan hikmah sabar yang lainnya :
Sabar memiliki banyak manfaat dan hikmahnya, di antaranya sebagai berikut :

1.       Sabar Sebagai Penolong
Kesabaran bisa menjadi penolong yang akan menyelamatkan seseorang dari bahaya, baik bahaya dunia terlebih lagi bahaya akhirat. Contoh kecilnya   misalnya di dalam berkendaraan.
Betapa pun ia terburu-buru, ia tetap mengemudikan kendaraannya dengan penuh kehati-hatian dan sesuai aturan. Saat lampu lalu lintas berwarna merah, ia pun berhenti dengan rela, saat di dalam kota, kendaraan pun diperlamban, tidak melebihi 40 atau 50 km/jam. Ia tetap menghargai hak-hak kendaraan lain yang ada di depan maupun di belakang, termasuk memberi kesempatan kepada pejalan kaki atau pengguna sepeda.
  Jika kesabaran demikian yang dipraktikkan setiap pengendara kendaraan bermotor, maka Insya Allah ia akan selamat dari kecelakaan, ia selamat dari kejaran polisi karena tidak mengebut di dalam kota sampai melampaui batas kecepatan, dan orang lain pun akan selamat dari ulahnya kalau saja ia tidak sabar akibat terlalu cepat.

2.      Pembawa Keberuntungan
Setiap manusia normal pasti menginginkan keberuntungan. Seorang yang sedang berdagang, ia menginginkan dapat memperoleh laba yang banyak dari dagangannya. Seorang siswa, pelajar atau mahasiswa, ia menginginkan keberuntungan dengan kelulusan dari studinya, baik keberuntungan dalam arti naik kelas, naik tingkat, atau lulus plus karena memperoleh nilai yang exelence.
Sebagaimana tersurat dalam firman Allah SWT berikut, “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS Ali Imran [3]: 200).
Tak ada yang perlu diragukan dari janji Allah SWT, karena Allah tak pernah dan tak akan pernah mengingkari janji-Nya. Tak ada yang perlu dibimbangkan lagi dari keberuntungan bagi orang-orang beriman yang sabar dan bertakwa, keberuntungan itu pasti datang, pasti akan mereka terima, baik di dunia maupun di akhirat. Kalau tidak di dunia, pasti di akhirat, asal mereka benar-benar beriman dan benar-benar sabar.


3.   Mendatangkan Keuntungan yang Besar
Orang berdagang, lalu untung, itu biasa. Tapi, kalau pedagang yang beruntung besar, nah ini pantas menjadi berita. Inilah yang dinyatakan Allah SWT dalam Al-Qur`an bahwa keuntungan yang besar akan dapat diraih oleh hamba-hamba-Nya yang sabar.
Sabar di dalam menjalankan perintah Allah SWT dan ajaran Rasulullah saw, meskipun keadaannya dalam kesulitan. Tetap kokoh dalam menjauhi semua yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, serta tahan uji terhadap segala cobaan.
Dengan demikian, bersabarlah. Niscaya kesabaran akan menjemput Anda ke tempat terbaik. Terbaik dalam peruntungan, hasil, dan tindakan. Sampai akhirnya Anda akan mereguk kenikmatan abadi di akhirat kelak.





















.                B. Pengertian Wara’
Yang dimaksud wara’ menurut Sahal bin Abdullah adalah meninggalkan hal-hal yang tidak pasti (Syubhat), yaitu hal-hal yang tidak berfaedah. Sedangkan menurut As-Syibli, wara’ merupakan upaya untuk menghindarkan diri dari berbagai hal yang tidak berkaitan dengan Allah SWT.
Diceritakan oleh Ishaq bin Khalaf, wara’ dalam ilmu logika lebih hebat daripada emas dan perak. Sedangkan zuhud dalam ilmu kepemimpinan lebih hebat daripada keduanya. Oleh karena itu engkau dapat mengumpulkan keduanya dalam meraih kepemimpinan.
Menurut Abu Sulaiman Ad-Daraani, wara’ merupakan permulaan zuhud sedangkan qana’ah merupakan akhir keridhaan. Sedangkan menurut Abu Utsman, pahala wara’ adalah takut kepada hisab (perhitungan amal).
Dikisahkan suatu hari AbduLlah bin Marwan mengalami kebangkrutan. Dia berada di dalam sebuah sumur yang kotor. Setelah menyebut nama Allah, dia dapat keluar dari sumur tersebut. “Menyebut nama Allah dengan harap dan cemas adalah bagian dari wara”.
Yahya bin Mu’adz berkata, “Wara’ terbagi menjadi dua, pertama wara’ lahir yakni semua gerak aktivitas yang hanya tertuju kepada Allah SWT. Kedua, wara’ bathin, yakni hati yang tidak dimasuki sesuatu kecuali hanya mengingat Allah. Barang siapa yang belum merasakan lezatnya wara’ dia belum pernah menikmati pemberian Allah SWT. Mereka yang pandangan keagamaannya bagus, kelak ditinggikan derajatnya oleh Allah di hari kiyamat”.
Ma’ruf Al-Kharqi berucap, sikap wara’ termasuk menjaga diri dari perbuatan tercela, juga menjaga diri dari pujian.
Harits Al-Muhasibi pernah mengulurkan tangannya untuk mengambil makanan syubhat. Tiba-tiba ujung jarinya berkeringat sehingga ia tahu bahwa makanan tersebut tidak halal. Sedangkan sahabat Bishri Al-Maafi pernah diundang dalam suatu acara. Makanan tersebut diletakkan di dhadapannya. Namun ketika ia mengulurkan tangannya ternyata tangannya tidak bisa digerakkan. Itu diulanginya sampai tiga kali, tetapi tidak bisa juga. Sesungguhnya tangannya tidak bisa diulurkan pada makanan yang syubhat.
Pada kisah yang lain diceritakan bahwa Hasan Al-Bashri bertanya kepada putera ‘Ali RA, “Apakah kebesaran agama ?” Dia menjawab sikap ‘Wara’’. Kemudian ditanyakan lagi, “Apa penyakit agama ?” Dia menjawab ‘Tamak’.
Hasan bin Sinan belum pernah tidur terlentang, belum pernah makan samin, belum pernah minum air dingin. Suatu saat ia bermimpi meninggal dunia. Dalam kondisi demikian ia ditanya oleh seseorang, “Apa yang telah Allah berikan kepadamu”. Dia menjawab, “Kebaikan, hanya saja saya terhalang masuk surga karena sebatang jarum yang pernah saya pinjam tapi belum saya kembalikan.”
Begitulah sikap wara’ para sufi zaman dahulu. Menurut Imam Al-Ghazali wara’ adalah menahan diri dari larangan Allah SWT. Ada tiga macam wara’. Pertama wara’ shidiqqin yaitu meninggalkan sesuatu yang tidak ada dalil atau bukti kehalalannya. Kedua wara’ Muttaqiin yaitu meninggalkan sesuatu yang tidak mengandung syubhat tetapi dikhawatirkan membawa kepada yang haram. Dan yang ketiga adalah wara’ shalihin yaitu meninggalkan hal-hal yang –boleh jadi- halal atau haram, tetapi belum tentu menyehatkan / baik untuk badan (thayib).[1]


Sifat Wara'
كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
"Jadilah orang yang wara' niscaya engkau menjadi manusia yang paling beribadah"
            Sesungguhnya orang yang mengenal Rabb-nya dan menempatkan-Nya sebagaimana mestinya, mengagungkan larangan dan syi'ar-syi'ar-Nya, akan melakukan pengagungan sampai kepada sikap hati-hati dari setiap perkara yang bisa menyebabkan kemurkaan Allah  di dunia maupun di akhirat.
Maka wara' di sisi-Nya termasuk jenis takut yang membuat seseorang meninggalkan banyak hal yang dibolehkan, jika hal itu menjadi samar atasnya bersama yang halal agar tidak merugikan agamanya.
Di antara tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara' adalah kehati-hatian mereka yang luar biasa dari sesuatu yang haram dan tidak adanya keberanian mereka untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram. Dan dalam hal itu, Rasulullah  bersabda:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ, فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ.
"Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya."[2]
Dan barangsiapa yang bertindak berani di tempat-tempat yang diragukan, niscaya bertambahlah keberaniannya terhadap sesuatu yang lebih berat: "Dan sesungguhnya orang yang bercampur keraguan, hampir-hampir ia berani (kepada yang diharamkan)."
Maka wara' yang sebenarnya adalah seperti yang digambarkan oleh Yunus bin 'Ubaid rahimahullah: yaitu keluar dari semua yang syubhat dan muhasabah (introfeksi) terhadap diri sendiri di setiap kedipan mata.
Syaikh al-Qubbari rahimahullah mengisyaratkan kepada pengertian ini dengan katanya: 'Yang makruh adalah dinding penghalang di antara hamba dan sesuatu yang haram. Maka barangsiapa yang banyak melakukan yang makruh berarti ia menuju kepada yang haram. Dan yang mubah merupakan dinding pemisah di antaranya dan yang dimakruhkan. Maka barangsiapa yang memperbanyak yang mubah niscaya ia menuju kepada yang makruh. Ibnu Hajar rahimahullah memandang baik perkataannya ini dan ia menambahkan: 'Sesungguhnya yang halal, sekiranya dikhawatirkan bahwa melakukannya secara mutlak bisa menyeret kepada yang makruh atau haram, semestinya meninggalkannya, seperti memperbanyak yang halal. Sesungguhnya hal itu membutuhkan banyak kerja yang dapat menjatuhkan diri seseorang dalam mengambil yang bukan haknya atau membawa kepada penolakan jiwa. Dan sekurang-kurangnya adalah tersibukkan dari ibadah (maksudnya, tidak ada waktu untuk beribadah). Hal ini sudah diketahui berdasarkan pengalaman dan disaksikan dengan pandangan mata.

 Ciri-Ciri Orang yang Bersifat Wara’
Ciri mendasar pada seseorang yang bersifat wara' adalah kemampuannya meninggalkan sesuatu yang hanya semata-mata ada keraguan atau syubhat, seperti yang dikatakan oleh al-Khaththabi rahimahullah: 'Semua yang engkau merasa ragu padanya, maka sifat wara' adalah menjauhinya.' Imam al-Bukhari rahimahullah mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan rahimahullah: 'Tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada sifat wara': "Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu." Sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah, beliau bersabda:
البِرُّ مَا سَكَنَتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَاْلإِثْمُ مَالَمْ تَسْكُنْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَلَمْ يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ –وَإِنْ أَفْتَاكَ الْمُفْتُوْنَ
"Kebaikan adalah sesuatu yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram kepadanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang dan hati tidak merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang-orang memberikan berbagai komentar kepadamu."
Dan yang memperkuat hal itu adalah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir rahimahullah secara mursal:
مَا أَنْكَرَهُ قَلْبُكَ فَدَعْهُ
"Sesuatu yang diingkari hatimu, maka tinggalkanlah."
          Orang-orang yang memiliki kedudukan yang tinggi selalu bersikap prefentif untuk diri mereka sendiri dengan berhati-hati dari sebagian yang halal yang bisa membawa kepada sesuatu yang makruh atau haram. Diriwayatkan dari Rasulullah, beliau bersabda:
لاَيَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُوْنَ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ حَتَّى يَدَعَ مَالاَبَأْسَ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ
"Seorang hamba tidak bisa mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan yang tidak dilarang karena khawatir dari sesuatu yang dilarang."
Hal ini diperkuat oleh hadits yang lain:
اجْعَلُوْا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الْحَرَامِ سِتْرًا مِنَ الْحَلاَلِ...
"Jadikanlah pendinding yang halal di antara kamu dan yang haram …"
Ibnu al-Qayyim rahimahullah menceritakan pengalamannya bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: Syaikhul Islam berkata kepadaku pada suatu hari tentang sesuatu yang mubah (boleh): 'Ini menghalangi kedudukan yang tinggi, sekalipun meninggalkannya bukanlah syarat dalam keselamatan.
          Sebagaimana wara' meliputi gambaran-gambaran usaha dan hubungan mu'amalah, maka sesungguhnya ia juga mencakup lisan. Sesungguhnya engkau menemukan kebanyakan orang bersegera memberi fatwa, sedangkan mereka tidak mengetahui. Karena itulah, ad-Darimi rahimahullah membuat satu bab yang berbunyi: Menahan diri (bersikap wara') dari menjawab sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur`an dan sunnah.' Ishaq bin Khalaf rahimahullah memandang sikap wara` dalam ucapan lebih utama daripada sikap wara` dalam hubungan yang berkaitan dengan harta, di mana dia berkata: 'Wara' dalam tuturan kata lebih utama daripada emas dan perak.
          Di antara renungan Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam hadits-hadits Rasulullah, dia menyatakan bahwa sesungguhnya: 'Rasulullah  mengumpulkan semua sifat wara' dalam satu kata, maka beliau bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَيَعْنِيْهِ
"Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya."

 Hasil yang Diperoleh Dari Sifat Wara’

          Dan di antara hasil yang nampak bagi sikap wara' bahwa ia memelihara pelakunya dari terjerumus (dalam hal yang dilarang), karena itulah engkau menemukan: Barangsiapa yang melakukan yang dilarang, ia menjadi gelap hati karena tidak ada cahaya wara', maka ia terjerumus dalam hal yang haram, kendati ia tidak memilih untuk terjerumus padanya. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah.[6] Dan dalam hadits ifki (berita bohong), 'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata tentang Zainab radhiyallahu 'anha, di mana ia menjaga pendengaran dan penglihatannya dari terjerumus dalam perkara yang ia tidak mengetahui: 'Maka Allah  menjaganya dengan sifat wara'
          Sebagaimana orang yang wara' memelihara agama dan kehormatannya dari celaan:
فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ
"…Maka barangsiapa yang menahan diri dari yang syubhat, niscaya ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, ..."
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: 'Dalam hadits ini menjadi dalil bahwa barangsiapa yang tidak menjaga diri dari yang syubhat dalam usaha dan kehidupannya, berarti ia telah menawarkan dirinya untuk mendapat celaan. Dan dalam hal ini menjadi isyarat untuk memelihara perkara-perkara agama dan menjaga sikap muru`ah.
          Maka apabila wara' merupakan kedudukan ibadah yang tertinggi:
كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
"Jadilah orang yang wara' niscaya engkau menjadi manusia paling beribadah."
Dan jika agama yang paling utama adalah sikap wara':
خَيْرُ دِيْنِكُمْ الوَرَعُ
"Sebaik-baik agamamu adalah sikap wara”
Apakah juru dakwah yang beriman tidak mau menaiki puncak tersebut dan menjaga dirinya dari terjatuh dan terjerumus. Dia harus menjaga diri dan berhati-hati agar amal ibadahnya tidak gugur sedangkan dia tidak mengetahui.
          Maka sesungguhnya banyak para sahabat yang takut dari sifat nifaq terhadap diri mereka, dan Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan alasan tersebut dengan penjelasanannya: Rasa takut mereka dari sifat nifaq tidak  berarti adanya sifat itu pada diri mereka, bahkan hal itu merupakan sikap wara' dan taqwa yang luar biasa dari mereka radhiyallahu 'anhum jami'an.[8]
          Seperti inilah sifat mereka, maka hendaklah kita melakukan intropeksi terhadap diri kita dan menimbang amal perbuatan kita sendiri.















C.    Pengertian Zuhud
Secara  etimologis, zuhud berarti ragaban ‘ ansyai’in watarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu  dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenagan dunia untuk ibadah.
Berbicara tentang zuhud secara terminologis, maka tidak bisa di lepaskan  dari dua hal: yang pertama  zuhud sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tasawuf. Kedua  zuhud sebagai moral (akhlak) islam dan gerakan protes.
Apabila tasawuf  diartikan adanya komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu stasiun (maqam)  menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepadaNya.
Klasifikasi arti zuhud ke dalam dua pengertian tersebut sejalan dengan makna ihsan. Yang pertama berarti ibadah kepada Allah seakan-akan melihatnya dan zuhud sebagai salah satu maqam menuju kesana, dan yang kedua arti dasar ihsan adalah berbuat baik
Menurut Al-Palibani hakikat zuhud itu meninggalkan sesuatu yang di kasihi dan berpaling dari padanya kepada sesuatu yang lain, yang lebih baik dari padanya. Karena itu sikap seseorang yang meninggalkan kasih akan dunia “karena mengigikan sesuatu didalam akhirat itulah yang dikatakan zuhud.
Pengertian zuhud ini ada tiga macam :
1)      Meninggalkan sesuatu karena mengiginkan sesuatu yang lebih baik daripadanya.
2)      Meninggalkan keduniaan karena mengharapkan sesuatu yang bersifat keakhiratan, dan
3)      Meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena mencintaiNya.
Sudah banyak orang yang membahas masalah zuhud dan masing-masing mengungkap menurut perasaanya, berbicara menurut keadaanya. Padahal pembicaraan menurut bahasa ilmu, jauh lebih luas dari pada berbicara berdasarka bahasa perasaan, yang sekaligus lebih dekat kepada hujjah dan bukti keterangan.
Ada beberapa pendapat dari para ulama yaitu dari  Syaikhul-islam ibnu taimiyah berkata, “zuhud artinya meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat”. Sedangkan menurut sufyan Ats-Tsaury, zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan,bukannya makan sesuatu yang kering dan mengenakan pakaian yang tidak bagus. Al-junaid berkata, “Aku pernah mendengar sary mengatakan, bahwa Allah merampas keduniaan dari para waliNya, menjaga agar tidak melalaikan hamba-hambaNya yang suci dan menggeluarkanya dari hati orang-orang layak bersanding dengan-Nya. Sebab Allah tidak meridhainya bagi mereka.
Dia juga berkata, “orang yang zuhud tidak gembira karena mendapatkan dunia dan tidak sedih karaena kehilanggan dunia.
Menurut Yahya bin Mu’adz, zuhud itu menimbulkan kedermawanan dalam masalah hak milik, sedangkan cinta menimbulkan kedermawanan dalam masalah ruh. Menurut ibnu-jala’,zuhud itu memandang dunia dengan pandangan yang meremehkan, sehingga mudah bagimu untuk berpaling darinya. Menurut ibnu khafif, zuhud artinya merasa senang jika dapat keluar dari kepemilikan dunia. Menurut Al-imam Ahmad, zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan di dunia. Ada pula salah satu riwayat dariNya, bahwa zuhud itu tidak gembira mendapatkan keduniaan dan tidak sedih kehilangan keduniaanya.
Menurut abdulah bin Al-Mubarak, zuhud artinya percaya kepada Allah dengan disertai kecintaan kepada kemiskinan. Pendapat yang sama juga dinyatakan syaqiq dan Yusuf bin Asbath.
Menurut Al-Imam Ahmad, zuhud didasarkan kepada tiga perkara meninggalkan yang haram, ini merupakan zuhudnya orang-orang awam, meninggalkan berlebih-lebihan dalam hal yang halal, ini merupakan zuhudnya orang-orang yang khusus, dan meninggalkan kesibukan selain dari Allah, dan ini zuhudnya orang-orang yang ma’rifat.
Yang pasti para ulama sudah bersepakat bahwa zuhud itu  merupakan perjalanan hati dari kampung dunia dan menempatkannya di akhirat.
Kaitan zuhud ini ada enam macam yaitu Harta, rupa ,kekuasaan, manusia, nafsu, dan hal-hal selain Allah. Dan seseorang itu tidak layak mendapat sebuah zuhud kecuali menghindari enam macam tersebut. Yang paling baik dari pengertian zuhud dan yang paling menyeluruh adalah seperti yang dikatakan Al-hasan,”zuhud di dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta, tetapi jika engkau lebih meyakini apa yang ada di tangan Allah dari pada apa yang ada di tanganmu, dan jika ada musibah yang menimpamu, maka pahala atas musibah itu lebih engkau sukai daripada engkau tidak di timpa musibah sama sekali.
Orang-orang saling berbeda pendapat, apakah zuhud ini masih memungkinkan pada zaman sekarang ini ataukah tidak? Dan menurut Abu hafsh, zuhud tidak berlaku kecuali dalam hal-hal yang halal. Sementara di dunia saat ini sudah tidak ada yang halal, yang berarti tidak ada lagi zuhud.
Macam-macam zuhud dan Tingkatannya
Ibnul Qayyim -rahimahullah- berkata, “Zuhud ada beberapa macam: Zuhud terhadap perkara yang haram, maka ini adalah kewajiban atas setiap individu. Zuhud terhadap berbagai syubhat, maka ini sesuai dengan tingkatan syubhat itu. Jika syubhat itu semakin kuat maka zuhud terhadapnya tergolong perkara yang wajib, namun jika lemah maka zuhud terhadapnya tergolong mustahab (sunah, disukai). Zuhud terhadap perkara mubah yang berlebihan. Zuhud terhadap perkara yang tidak bermanfaat dari perkataan, penglihatan, pertanyaan, pertemuan dan yang lainnya. Zuhud terhadap manusia. Zuhud terhadap diri sendiri, dimana dia merasakan jiwanya menjadi remeh karena Allah. Dan zuhud yang mencakup semua itu adalah zuhudterhadap segala sesuatu selain Allah dan zuhud terhadap segala sesuatu yang menyibukkanmu dari-Nya.
Ahmad ibnu Qudamah al-Maqdisi -rahimahullah- berkata:
Tingkatan pertama, Di antara manusia ada yang zuhud terhadap dunia sedangkan dia menyenangi dan menginginkan dunia itu. Hanya saja dia berusaha melawan jiwanya. Maka orang yang semacam ini disebut mutazahhid (orang yang berusaha zuhud).
Inilah permulaan zuhud Tingkatan kedua, orang yang zuhud terhadap dunia secara sukarela. Jiwanya tidak merasa berat untuk zuhud. Akan tetapi dia masih memandang dan melirik kepada sikap zuhudnya. Hampir-hampir dia merasa takjub terhadap dirinya. Dia
memandang dirinya telah meninggalkan sesuatu yang bernilai (maksudnya adalah dunia -pen) untuk mencari sesuatu yang lebih besar nilainya (yakni akhirat). Seperti orang yang meninggalkan uang satu dirham untuk mendapatkan dua dirham. Maka zuhud semacam ini masih ada kekurangan.
Tingkatan ketiga, yaitu tingkatan tertinggi. Orang yang zuhud secara sukarela, dan lebih dari itu dia juga zuhud terhadap sikap zuhudnya. Maksudnya, dia tidak memandang bahwa dirinya telah meninggalkan sesuatu. Karena dia mengetahui bahwa dunia bukanlah sesuatu yang bernilai. Maka dia seperti orang yang meninggalkan selembar kain untuk mendapatkan permata. Dia tidak menganggapnya sebagai pertukaran. Karena dunia dibandingkan dengan kenikmatan akhirat, lebih baik daripada secarik kain dibandingkan dengan permata. Maka inilah kesempurnaan dalam zuhud. Adapun tingkatan yang lain yaitu:
1)      Orang yang merasa berat untuk bersikap zuhud terhadap dunia. Ia berjuang untuk meninggalkannya, pada hal ia sangat mengiginkannya. Orang seperti ini disebut mutazahhid (orang yang masih belajar untuk berzuhud), dan ini adalah langkah awal untuk menuju zuhud. Semoga saja ia menjadi orang zuhud di kemudian hari.
2)      Orang yang meninggalkan dunia (berzuhud) dengan suka rela karena ia menggangapnya hina, namun ia masih punya hasrat terhadap dunia, Ia seperti orang yang meninggalkan satu dirham demi mendapatkan dua dirham. Hal seperti ini tidaklah berat baginya, namun ia tetap tidakterbebas dari sikap memperhatikan sesuatu yang ditinggalkannya dan masih memperhatikan kondisi dirinya. Sikap ini masuk kategori zuhud, namun masih belum sempurna.
3)      Orang yang menganggap dunia tidak ada arti baginya. Ia menjadi seperti seorang yang meninggalkan setumpuk kotoran untuk mengambil mutiara,
namun tidak menganggap hal demikian sebagai bentuk ganti rugi. Ia berpandangan bahwa penjauhan diri terhadap dunia yang di hubungkan dengan kenikmatan akhirat atau Allah adalah lebih hina dari pada meninggalkan setumpuk kotoran yang dihubungkan dengan mutiara. Jadi disini tidak ada hubungan antara satu sama lain yang didasarkan untuk memperoleh ganti rugi (atau akhirat) karena meninggalkan dunia.
Ada juga mengenal orang zabid (yang hidup zuhud), Al-Palimbani menerangkan pula tiga tingkatan yang mencerminkan proses kejiwaan seorang salik dalam menempuh kehidupan zuhud itu:
a)      Zuhud “orang mubtadi (pemulaan) yaitu orang yang permulaan menjalani akan jalan yang menyampaikan kepada makrifah akan Allah itu, yaitu orang yang di dalam hatinya masih ada rasa kasih dan cenderung kpda keduniaan, tetapi ia bersungguh-sungguh melawan hawa nafsunya.[7]
b)      Orang yang pertengahan jalan itu  yaitu orang yang telah mudah hatinya meninggalkan akan dunia itu, tiada lagi kasih akan dunia itu.
c)      Orang yang muntabi, yakni orang-orang yang arif, yang bagi mereka dunia itu seperti” tahi saja “ tidak ada nilainya lagi, sehingga segenap hati mereka sudah menghadap ke akhirat.
Namun di atas itu masih ada satu tingkat lagi, yaitu orang yang meninggalkan daripada hatinya yang lain dari pada Allah, baik duia maupun akhirat.
Zuhud dalam arti dan tingkatan seperti ini adalah maqam dalam perjalanan seorang salik Al-Palimbani mengikuti Al-Ghazali terdiri dari tiga perkara yaitu ilmu, hal, dan amal.
Pada pendapat Al-Palimbani zuhud mempunyai tingkatan yang tertinggi yaitu bukan tidak memiliki sesuatu, tetapi tidak mengiginkan sesuatu selain Allah.
Ciri-ciri orang zuhud menurut Dia ada tiga perkara:
  • Ia tidak gembira dengan adanya sesuatu dan tidak sedih dengan hilangnya sesuatu
  • Orang yang memujinya dan orang yang menghinanya dianggap sama saja.
  • Ia merasa intim dengan tuhan dan merasa lezat dalam mentaati-Nya.
Semua ini mungkin bisa dipertahankan oleh seorang zahid yang di dalam hatinya tidak ada lagi sesuatu selain Allah, walaupun ia memiliki kekayaan dan kebesaran.
Karena itu maqam zuhud ini adalah pendahuluan dari maqam syukur yang mencerminkan kejiwaan seseorang muslim yang selalu memandang tuhan dalam semua nikmat yang dilimpahkan kepadanya.
Tetapi sebelum mencapai maqam tersebut masih ada satu maqam lagi yang harus dilewati yaitu maqam sabar.
 Maka ketahuilah tingkatan zuhud yang tertinggi adalah engkau meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena mencari ridhaNya. Semua dilakukan untuk mengetahui kelezatan dan luhurnya sifat zuhud. Selagi masih mampu mempertahankan diri dari semua itu, maka lakukanlah, dan itulah yang dinamakan zuhud yang sebenarnya (hakiki).

Perbedaan antara zuhud sebagai maqam dan zuhud sebagai moral (akhlak):

a)      Melakukan zuhud dengan tujuan bertemu Allah SWT dan Ma’rifa kepadaNya. Dunia di pandang sebagai hijab antara dia dengan Tuhan, sedangkan yang kedua hanya sebagai sikap mengambil jarak dengan dunia dalam rangka menghias diri dengan sifat-sifat terpuji, karena disadari bahwa cinta dunia merupakan pangkal kejelekan (ra’su kulli khati’ah
b)     Yang pertama bersifat individual sedangkan yang kedua bersifat individual dan social, dan sering dipergunakan sebagai gerakan protes terhadap ketimpangan social.
c)      Yang pertama formulasinya bersifat normatif, doctrinal, dan ahistoris. Sedangkan yang kedua formulasinya bisa diberi makna kontekstual dan historis.


 Faktor yang mempengaruhi zuhud
Para sarjana, baik dari kalangan orientalis maupun islam sendiri saling berbeda pendapat tentang factor yang mempengaruhi zuhud.
Harun nasution ada lima pendapat : pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen Kedua: dipengaruhi oleh Pythagoras yang mengharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia da pergi berkopetensi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam islam.
Ketiga: di pengaruhi oleh ajaran politinus yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian roh yang telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia.
Keempat: pengaruh budha dengan faham-faham nirwananya, bahwa untuk mencapainya orang harus meninggalkan dunia da memasuki hidup kontemplasi.
Kelima: pengaruh ajaran hindu yang juga mendorong manusia mrninggalkan dunia dan mendekatkan diri kepada tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.
Abu ‘Ala ‘Afifi ada empat pendapat para sarjana tentang factor atau asal-usul zuhud:
        pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh india dan Persia.
     Kedua: berasal dari atau dipengaruhi oleh asketisme Nasrani.
     Ketiga: berasal dari atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda-beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran.
     Keempat: berasal dari ajaran islam.
   Untuk factor keempat ini Afifi merinci jadi tiga yaitu: pertama, factor ajaran islam sebagaimana terkandung dalam dua sumbernya, Al-Quran dan al-sunnah. Kedua: sumber ini mendorong untuk wara’ taqwa’dan zuhud. Selain itu kedua sumber tersebut mmendorong agar umatnya beribadah, bertingkah laku baik, shalat tahajjud, berpuasa, dan sebagainya. Dalam berbagai ayat banyak dijumpai sifat surga dan neraka, agar umat termotivasi mencari sorga dan menjauhkan diri dari neraka.
Kedua, reaksi rohania kaum muslimin terhadap system social politik dan ekonomi di kalangan islam sendiri, yaitu ketika islam mulai tersebar ke berbagai Negara yang sudah barang tentu membawa konsekwensi-konsekwensi tertentu, seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran di satu pihak, dan terjadinya pertikaian politik interen umat islam yang menyebabkan perang saudara antara Ali ibn Abi Thalib dengan Muawiyah, yang bermulah dari Al-Fitnah Al-Kubra yang menimpa khalifah ketiga.













D.    Pengertian Ridha

Perkataan ridha berasal dari bahasa arab, radhiya yang artinya senang hati (rela). Ridha menurut syariah adalah menerima dengan senang hati atas segala yang diberikan Allah swt, baik berupa hukum (peraturan-peraturan) maupun ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Sikap ridha harus ditunjukkan, baik ketika menerima nikmat maupun tatkala ditimpa musibah. Adapun beberapa pengertian ridha, yaitu:
    Menurut W.J.S Purwadarminta dalam KBBI diartikan rela, suka, dan senang hati. Sedangkan secara istilah yaitu perasaan lega atu kepuasan seseorang terhadap hasil prestasi yang diraihnya atau keputusan yang diberikan oleh Allah SWT sebagai takdirnya, dan atau pihak lain yang harus diterima sesuai prinsip keadilan.
    Menurut Imam Gozali, ridha adalah segala keputusan Allah SWT, merupakan puncak keindahan akhlak.

Orang yang berhati ridha pada Allah juga memiliki sikap optimis,lapang dada, kosong hatinya dari dengki, selalu berprasangka baik, bahkan lebih dari itu, yaitu memandang baik, sempurna, penuh hikmah, semua yang terjadi semua sudah ada dalam rancangan, ketentuan Allah. Berbeda dengan orang-orang yang selalu membuat kerusakan di muka bumi ini, mereka selalu ridha apabila melakukan perbuatan yang Allah haramkan, dalam hatinya selalu merasa kurang apabila meninggalkan kebiasaan buruk yang selama ini mereka perbuat, dengan kata lain merasa puas hati apabila aktivitas hidupnya bisa membuat risau, khawatir, dan selalu mengganggu terhadap sesamanya. Semuanya itu ia lakukan karena mengikut hawa nafsu yang tanpa ia sadari bahwa sebenarnya syaitan telah menjerat dirinya dalam perbuatan dosa. Lebih jelasnya Allah telah menjelaskan dalam surat At-Taubah ayat 96:
يَحْلِفُوْنَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنْ تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللهَ لاَ يَرْضَى عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِيْنَ
“Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka, tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, Sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang berbuat fasik.”

   

 Karakteristik Sikap Ridha

Pendapat para ahli hikmah, ridha dikelompokan menjadi tiga tingkatan, yaitu ridha kepada Allah, ridha pada apa yang datang dari Allah, dan rida pada qada dan qadar Allah.
a.       Ridha kepada Allah dan Rasul-Nya
Pada hakekatnya seseorang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, dapat diartikan sebagai pernyataan ridha terhadap semua nilai dan syari’ah Islam.
“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (Q.S.al-Bayyinah ayat 8 )
Maksud dari ayat diatas adalah jika kita ridha terhadap perintah Allah maka Allah pun ridha terhadap kita.
Seperti dalam Hadith Qudsi:
قَالَ اللهُ : مَنْ لَمْ يَرْضَى بِقَضَائِيْ وَلَمْ يَشْكُرْ بِنِعْمَائِيْ وَلَمْ يَصْبِرْ بِبَلاَئِيْ فَلْيَخْرُجْ
 تَحْتَ سَمَائِيْ وَلْيَطْلُبْ رَبًّا سِوَائِيْ
Artinya:
“Allah berfirman kepada rasul SAW: Barangsiapa yang tidak ridha atas segala hukum perintah, larangan, janji qadha dan qadar-Ku, dan tidak bersyukur atas segala nikmat-nikmat-Ku, serta tidak sabar atas segala cobaan-Ku, maka keluarlah dari bawah langit-Ku yang selama ini engkau jadikan sebagai atapmu, dan carilah Tuhan lain selain diri-Ku (Allah)”.
Maksud hadits diatas adalah ridha untuk mentaati Allah dan Rasulnya.
b.      Ridha apa yang datang dari Allah
Yaitu ridha baik dalam bentuk perintah maupun larangan, kalau itu datangnya dari Allah, maka kita harus menerimanya dengan sepenuh hati. Apabila seseorang tidak ridha kepada apa yang datang dari Allah berarti ia benci kepada Allah.



c.       Ridha pada Qada dan Qadar
Ada sebuah kisah dari Ali bin Abi Thalib yang menerangkan tentang ridha terhadap taqdir Allah, yaitu :
“Pada suatu hari Ali bin Abi Thalib r.a. melihat Ady bin Hatim bermuram durja, maka Ali bertanya ; “Mengapa engkau tampak bersedih hati ?”. Ady menjawab ; “Bagaimana aku tidak bersedih hati, dua orang anakku terbunuh dan mataku tercongkel dalam pertempuran”. Ali terdiam haru, kemudian berkata, “Wahai Ady, barang siapa ridha terhadap taqdir Allah swt. maka taqdir itu tetap berlaku atasnya dan dia mendapatkan pahalaNya, dan barang siapa tidak ridha terhadap taqdirNya maka hal itupun tetap berlaku atasnya, dan terhapus amalnya”.
Ada dua sikap utama bagi seseorang ketika dia tertimpa sesuatu yang tidak diinginkan yaitu ridha dan sabar. Ridha merupakan keutamaan yang dianjurkan, sedangkan sabar adalah keharusan dan kemestian yang perlu dilakukan oleh seorang muslim.
Perbedaan antara sabar dan ridha adalah sabar merupakan perilaku menahan nafsu dan mengekangnya dari kebencian, sekalipun menyakitkan dan mengharap akan segera berlalunya musibah. Sedangkan ridha adalah kelapangan jiwa dalam menerima taqdir Allah swt. Dan menjadikan ridha sendiri sebagai penawarnya. Sebab didalam hatinya selalu tertanam sangkaan baik (Husnu-dzan) terhadap sang Khaliq bagi orang yang ridha ujian adalah pembangkit semangat untuk semakin dekat kepada Allah, dan semakin mengasyikkan dirinya untuk bermusyahadah kepada Allah.
Dalam suatu kisah Abu Darda’, pernah melayat pada sebuah keluarga, yang salah satu anggota keluarganya meninggal dunia. Keluarga itu ridha dan tabah serta memuji Allah swt. Maka Abu Darda’ berkata kepada mereka. “Engkau benar, sesungguhnya Allah swt. apabila memutuskan suatu perkara, maka dia senang jika taqdirnya itu diterima dengan rela atau ridha.
Begitu tingginya keutamaan ridha, hingga ulama salaf mengatakan, tidak akan tampak di akhirat derajat yang tertinggi daripada orang-orang yang senantiasa ridha kepada Allah swt. dalam situasi apapun.
Itulah ketiga kelompok ridha menurut baitul hikmah, namun ada beberapa pendapat mengatakan ridha kepada perintah orang tua juga ridha kepada peraturan atau Undang-undang negara.


a.       Ridha Kepada Perintah Orang Tua
Ridha terhadap perintah orang tua merupakan salah satu bentuk ketaatan kita kepada Allah swt. karena keridhaan Allah tergantung pada keridhaan orang tua, perintah Allah dalam Q.S. Luqman (31) ayat 14 yang artinya : “ Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Q.S. Luqman :14)
Bahkan Rasulullah bersabda : “Keridhaan Allah tergantung keridhaan orang tua, dan murka Allah tergantung murka orang tua”. Begitulah tingginya nilai ridha orang tua dalam kehidupan kita, sehingga untuk mendapatkan keridhaan dari Allah, mempersyaratkan adanya keridhaan orang tua. Ingatlah kisah Juraij, walaupun beliau ahli ibadah, ia mendapat murka Allah karena ibunya tersinggung ketika ia tidak menghiraukan panggilan ibunya.
b.      Ridha Terhadap Peraturan dan Undang-Undang Negara
Mentaati peraturan yang belaku merupakan bagian dari ajaran Islam dan merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah swt. karena dengan demikian akan menjamin keteraturan dan ketertiban sosial. Allah berfirman dalam Q.S. an-Nisa (4) ayat 59 yang artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.( Q.S. an-Nisa :59)
Ulil Amri artinya orang-orang yang diberi kewenangan, seperti ulama dan umara (Ulama dan pemerintah). Ulama dengan fatwa dan nasehatnya sedangkan umara dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Termasuk dalam ridha terhadap peraturan dan undang-undang negara adalah ridha terhadap peraturan sekolah, karena dengan sikap demikian, berarti membantu diri sendiri, orang tua, guru dan sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan. Dengan demikian mempersiapkan diri menjadi kader bangsa yang tangguh.


 Bentuk Perilaku Ridha
Adapun bentuk perilaku ridha yang dapat kita wujudkan dalam perilaku , yaitu sebagai berikut:
a.   Sabar dalam melaksanakan kewajiban hingga selesai dengan kesungguhan usaha atau ikhtiar dan penuh tanggung jawab.
b.   Tidak iri hati atas kekurangan atau kelebihan orang lain dan tidak ria untuk dikagumi hasil usahanya.
c.    Senantiasa bersyukur atau berterima kasih kepada Allah swt. atas segala nikmat pemberian-Nya. Hal itu adalah upaya untuk mencapai tingkat tertinggi dalam perbaikan akhlak.
d.   Tetap beramal saleh (berbuat baik) kepada sesama sesuai dengan keadaan dan kemampuan, seperti aktif dalam kegiatan social, kerja bakti, dan membantu orangtua di rumah dalam menyelesaikan pekerjaan mereka.
e.     Menunjukkan kerelaan atau rida terhadap diri sendiri dan Tuhannya. Juga rida terhadap kehidupan terhadap takdir yang berbentuk nikmat maupun musibah, dan terhadap perolehan rezeki atau karunia Allah swt.
Ridha kedudukannya lebih tinggi daripada sabar. Karena ridha lebih berat dalam prakteknya. Seseorang mungkin bisa bersabar ketika mendapat musibah, tapi sangat sedikit yang bisa ridha. Seseorang mampu bersabar meskipun mendapat musibah yang berat, dia mampu mengekang dirinya untuk tidak menangis dengan menjerit, berteriak dan lain sebagainya. Akan tetapi sangat sedikit orang yang mampu untuk merasakan senang dan bersukur dan menganggap segala keputusan Allah adalah yang terbaik.
Oleh karena itu Umar bin Khattab berkata: “ jika engkau mampu meraih ridha maka raihlah dan apabila tidak mampu maka bersabarlah.”
Ibnu Tamimiyah juga berkata:” ridha yang wajib adalah kedudukannya setara dengan sabar yaitu ridha bagi pemula. Adapun ridha tingkat tinggi adalah ridha yang mengandung ketenangan jiwa yang sempurna.”






 Nilai positif perilaku Ridha
Rida merupakan kesadaran diri, perasaan jiwa, dan dorongan hati yang menyebabkan seseorang berkenaan sepenuh hati untuk menerima apa yang didapat ataupun yang dihadapi dengan penuh semangat dan rasa kasih sayang.

Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam sikap ridha :
1.      Menciptakan suasana batin yang puas, lega, bahagia
2.      Membawa ketentraman jiwa dan kesejahteraan rohani
3.      Menghilangkan kebencian
4.      Mendorong memikir positif
5.      Mendorong pelakunya beramal sholeh
6.      Akan mendapatkan balasan dari Allah SWT. (surga) karena ia selalu ingin mendapat ridlo dari Allah SWT
Syeh Abdul Qadir Jailani menandaskan bahwa ridha akan meringankan hidup manusia, membuat tenang, tentram, menghilangkan rasa gundah, cape, dan kegelisahan.
   
Membiasakan Ridha Dalam Kehidupan Sehari-hari
Konsekuensi ridha kepada Allah harus mengikuti semua yang diajarkan oleh Rasulullah SAW (ittiba’ ar-Rasul). Apabila seorang ridha kepada Allah, tentu dia akan selalu berusaha melakukan segala sesuatu yang diterima dari-Nya dan meninggalkan segala sesuatu yang dibenci-Nya. Untuk itu seseorang agar dapat membiasakan ridha maka perlu melakukan berbagai upaya, yang diantaranya sebagai berikut :
1.     Menyadari pentingnya ridlo didalam kehidupannya, baik sebagai makhluk pribadi, sosial maupun sebagai hamba Allah SWT
2.    Memahami apa yang di takdirkan Allah SWT adalah pilihan terbaik dari-Nya
3.    Suka husnudzon terhadap takdir Allah SWT baik itu yang baik maupun yang buruk
4.     Optimis terhadap prestasi yang kurang baik dan menjadikannya sebagai bahan untuk memperbaiki diri sendiri
5.    Tidak membenci kemalangan atau musibah maupun kegagalan yang telah dicapainya.

E.    Pengertian Tawakal                
TAWAKAL (tawakul) dalam bahasa arab berarti mewakilkan atau menyerahkan. Dalam agama islam, tawakal  berarti berserah diri kepada allah dalam menghadapi suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan.
Tawakal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah SWT untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat . Allah SWT berfirman yang artinya :
“dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap  sesuatu”. (QS.Ath-Thalaq [65]:3)
Nabi saw bersabda:
“jika kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, pasti Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung. Mereka berangkat dipagi hari dengan perut kosong, dan kembali di waktu petang dengan perut  yang penuh isi”. (HR. Ahmad)







 DERAJAT TAWAKAL
Tawakal merupakan gabungan berbagai unsur yang menjadi satu, dimana tawakal tidak dapat terealisasikan tanpa adanya unsur-unsur tersebut. Unsur-unsur ini juga merupakan derajat dari tawakal itu sendiri:
  • Derajat pertama dari tawakal adalah : Ma’rifat kepada Allah SWT dengan segala sifat-sifat-Nya minimal meliputi tentang kekuasaan-Nya keagungan-Nya, keluasan ilmu-Nya, keluasan kekayaan-Nya, bahwa segala urusan akan kembali pada-Nya, dan segala sesuatu terjadi karena kehendak-Nya, dsb.
  • Derajat tawakal yang kedua adalah : Memiliki keyakinan akan keharusan melakukan usaha. Karena siapa yang menafikan keharusan adanya usaha, maka tawakalnya tidak benar sama sekali. Seperti seseorang yang ingin pergi haji, kemudian dia hanya duduk di rumahnya, maka sampai kapanpun ia tidak akan pernah sampai ke Mekah. Namun hendaknya ia memulai dengan menabung, kemudian pergi kesana denan kendaraan yang dapat menyampaikannya ke tujuannya tersebut.
  • Derajat Tawakal yang ketiga adalah : Adanya ketetapan hati dalam mentauhidkan (mengesakan) Dzat yang ditawakali, yaitu Allah SWT. Karena tawakal memang harus disertai dengan keyakinan akan ketauhidan Allah. Jika hati memiliki ikatan kesyirikan-kesyirikan dengan sesuatu selain Allah, maka batallah ketawakalannya.
  • Derajat tawakal yang keempat adalah : Menyandarkan hati sepenuhnya hanya kepada Allah SWT, dan menjadikan situasi bahwa hati yang tenang hanyalah ketika mengingatkan diri kepada-Nya. Hal ini seperti kondisi seorang bayi, yang hanya bisa tenang dan tentram bila berada di susuan ibunya. Demikian juga seorang hamba yang bertawakal, dia hanya akan bisa tenang dan tentram jika berada di ‘susuan’ Allah SWT.
  • Derajat tawakal yang kelima adalah : Husnudzan (baca ; berbaik sangka) terhadap Allah SWT. Karena tidak mungkin seseorang bertawakal terhadap sesuatu yang dia bersu’udzan kepadanya. Tawakal hanya dapat dilakukan terhadap sesuatu yang dihusnudzani dan yang diharapkannya.
  • Derajat Tawakal yang keenam adalah : Memasrahkan jiwa sepenuhya hanya kepada Allah SWT. Karena orang yang bertawakal harus sepenuh hatinya menyerahkan segala sesuatu terhadap yang ditawakali. Tawakal tidak akan mungkin terjadi, jika tidak dengan sepenuh hati memasrahkan hatinya kepada Allah.
  • Derajat tawakal yang ketujuh yaitu : Menyerahkan, mewakilkan, mengharapkan, dan memasrahkan segala sesuatu hanya kepada Allah SWT. Dan hal inilah yang merupakan hakekat dari tawakal. Allah SWT berfirman: (QS. 40 : 44)
“Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya”.
Seorang hamba yang menyerahkan segala urusannya kepada Allah, maka ia tidak akan berbuat melainkan dengan perbuatan yang sesuai dengan kehendak Allah. Karena dia yakin, bahwa Allah tidak akan menetapkan sesuatu kecuali yang terbaik bagi dirinya baik di dunia maupun di akhirat.
Bagiamana Cara Kita Bertawakal
Sikap tawakal tentu saja tidak bisa muncul dengan sendirinya, tanpa adanya penghayatan terhadap akidah atau tauhid secara benar, misalnya penghayatan terhadap luasnya makna Laa Ilaaha Illallah, atau keluasan
Asmaul Husna, sehingga melahirkan sikap akidah yang mantap. Keyakinan yang mantap teralisir dalam aplikasi sebagai seorang muslim yang mempunyai akhlakul karimah. Seperti kesabaran yang kuat, keistiqomahan yang mantap, sifat qonaah, ketenangan qalbu (muthmainah) yang baik. Termasuk di dalamnya sifat tawakal yang sebenarnya. Semua itu harus betul-betul dipahami dengan pemahaman yang sempurna. Sebuah contoh dari seorang alim yang pemahaman Islamnya sempurna, ia adalah Hatim al-Sham (237 H). Ketika ia di tanya tentang tawakal. “Atas dasar apa anda bangun urusan anda dalam hal tawakal”. Kemudian ia menjawab: “Berdasarkan empat perkara, Pertama: Aku tahu bahwa rezekiku tidak akan di makan oleh selainku, maka hatiku tentram dengannya. Kedua: Aku tahu bahwa amalku tidak dilakukan oleh orang selainku, maka aku sibuk dengannya. Ketiga: Aku tahu bahwa kematian itu datang dengan tiba-tiba, maka aku berpacu dengannya. Keempat: aku tahu bahwa aku tidak pernah sepi dari pengawasan Allah, maka aku malu kepada-Nya
 Tawakal dalam hadist
Dari Abdullah bin Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda: “Telah ditunjukkan kepadaku keadaan umat yang dahulu, hingga saya melihat seorang nabi dengan rombongan yang kecil, dan ada nabi yang mempunyai penigkut satu dua orang, bahkan ada nabi yang tiada pengikutnya. Mendadak telihat padaku rombongan yang besar (yang banyak sekali), saya kira itu adalah umatku, namun diberitahukan kepadaku bahwa itu adalah nabi Musa as beserta kaumnya. Kemudian dikatakan kepadaku, lihatlah ke ufuk kanan dan kirimu, tiba-tiba di sana saya melihat rombongan yang besar sekali. Lalu dikatakan kepadaku, Itulah umatmu, dan di samping mereka ada tujuh puluh ribu yang masuk surga tanpa perhitungan (hisab). Setelah itu nabi bangun dan masuk ke rumahnya, sehingga orang-orang banyak yang membicarakan mengenai orang-orang yang masuk surga tanpa hisab itu. Ada yang berpendapat; mungkin mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah SAW. Ada pula yang berpendapat, mungkin mereka yang lahir dalam Islam dan tidak pernah mempersekutukan Allah, dan ada juga pendapat-pendapat lain yang mereka sebut. Kemudian Rasulullah SAW keluar menemui mereka dan bertanya, ‘apakah yang sedang kalian bicarakan?’. Mereka memberiktahukan segala pembicaraan mereka. Beliau bersabda, ‘Mereka tidak pernah menjampi atau dijampikan dan tidak suka menebak nasib dengan perantaraan burung, dan hanya kepada Rab nya lah, mereka bertawakal’. Lalu bangunlah Ukasyah bin Mihshan dan berkata, ‘Ya Rasulullah SAW doakanlah aku supaya masuk dalam golongan mereka’. Rasulullah SAW menjawab, ‘Engkau termasuk golongan mereka’. Kemudian berdiri pula orang lain, dan berkata, ‘doakan saja juga supaya Allah menjadikan saya salah satu dari mereka’. Rasulullah SAW menjawab, ‘Engkau telah didahului oleh Ukasyah’.” (HR. Bukhari & Muslim).
1.     Tawakal merupakan sunnah Rasulullah SAW
Rasulullah SAW sendiri senantiasa menggantungkan tawakalnya kepada Allah SWT. Salah satu contohnya adalah bahwa beliau selalu mengucapkan doa-doa mengenai ketawakalan dirinya kepada Allah SWT:
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah SAW senantiasa berdoa, ‘Ya Allah hanya kepada-Mulah aku menyerahkan diri, hanya kepada-Mulah aku beriman, hanya kepada-Mulah aku bertawakal, hanya kepada-Mulah aku bertaubat, hanya karena-Mulah aku (melawan musuh-musuh-Mu). Ya Allah aku berlindung dengan kemulyaan-Mu di mana tiada tuhan selain Engkau janganlah Engkau menyesatkanku.
2.     Allah merupakan sebaik-baik tempat untuk bertawakal.
Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda :
Dari Ibnu Abbas ra, “Hasbunallah wani’mal Wakiil’ kalimat yang dibaca oleh Nabi Ibrahim as ketika dilempar ke dalam api, dan juga telah dibaca oleh Nabi Muhammad SAW ketika diprovokasi oleh orang kafir, supaya takut kepada mereka ; ‘sesungguhnya manusia telah mengumpulkan segala kekuatannya untuk menghancurkan kalian, maka takutlah kamu dan janganlah melawan, tapi orang-orang beriman bertambah imannya dan membaca, Hasbunallah wa ni’mal Wakil (cukuplah Allah yang mencukupi kami dan cukuplah Allah sebagai tempat kami bertawakal.” (HR. Bukhari)
3.     Tawakal akan mendatangkan nasrullah.
Sebagaimana yang terdapat dalam hadits no 5, dalam kitab Riyadhus Shalihin. Dimana dikisahkan pada saat perang Dzatur riqa’, ketika Rasulullah SAW sedang beristirahat di bawah sebuah pohon, sedangkan pedang beliau tergantung di pohon. Ketika tiba-tiba datang seorang musyrikin yang mengambil pedang beliau sambil berkata, siapa yang dapat melindungimu dariku?. Namun dengan sangat tenang Rasulullah SAW menjawab Allah. Setelah tiga kali bertanya, tiba-tiba pedang yang dipegangnya jatuh. Lalu Rasulullah SAW mengambil pedang tersebut seraya bertanya, sekarang siapakah yang dapat melindungimu dari ku?
4.     Tawakal yang benar tidak akan menjadikan seseorang kelaparan.
Dalam sebuah hadits  Rasulullah SAW bersabda:
Dari Umar ra, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,’sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, pastilah Allah akan memberikan rizki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rizki pada seekor burung. Pergi pagi hari dalam keadaan perut kosong, dan pulang sore hari dalam keadaan perut kenyang. (HR. Tirmidzi)
5.     Tawakal adalah setelah usaha.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan:
Dari Anas bin Malik ra, ada seseorang berkata kepada Rasulullah SAW. ‘Wahai Rasulullah SAW, aku ikat kendaraanku lalu aku bertawakal, atau aku lepas ia dan aku bertawakal?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Ikatlah kendaraanmu lalu bertawakallah.” (HR. Tirmidzi)















              F. Pengertian syukur
Kata syukur diambil dari kata syakara, syukuran, wa syukuran,dan wa syukuran yang berarti berterima kasih keapda-Nya .Bila disebut kata asy-syukru, maka artinya ucapan terimakasih, syukranlaka artinya berterimakasih bagimu, asy-syukru artinya berterimakasih, asy-syakir artinya yang banyak berterima kasih .
Menurut Kamus Arab – Indonesia, kata syukur diambil dari kata syakara, yaskuru, syukran dan tasyakkara yang berarti mensyukuri-Nya, memuji-Nya . Syukur berasal dari kata syukuran yang berarti mengingat akan segala nikmat-Nya .
 Menurut bahasa adalah suatu sifat yang penuh kebaikan dan rasa menghormati serta mengagungkan atas segala nikmat-Nya, baik diekspresikan dengan lisan, dimantapkan dengan hati maupun dilaksanakan melalui perbuatan.
Dalam kamus besar Bahasa indonesia, memiliki 2 arti:
1.    Rasa berterima kasih kepada allah.
2.    Untunglah atau merasa lega senang dll.
Ada tiga ayat yang dikemukakan tentang pengertian syukur ini, yaitu sebagai berikut disertai penafsirannya masing-masing.
1.    Surah al-Furqan, ayat 62
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ خِلْفَةً لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَذَّكَّرَ أَوْ أَرَادَ شُكُورًا 
artinya:
“Dan Dia(pula)yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur ”. (QS. Al-Furqan: 62).
Ayat ini ditafsirkan oleh al-Maragi sebagai berikut bahwa Allah telah menjadikan malam dan siang silih berganti, agar hal itu dijadikan pelajaran bagi orang yang hendak mengambil pelajaran dari pergantian keduanya, dan berpikir tentang ciptaan-Nya, serta mensyukuri nikmat tuhannya untuk memperoleh buah dari keduanya. Sebab, jika dia hanya memusatkan kehidupan akhirat maka dia akan kehilangan waktu untuk melakukan-Nya. Jadi arti syukur menurut al-Maragi adalah mensyukuri nikmat Tuhan-Nya dan berpikir tentang cipataan-Nya dengan mengingat limpahan karunia-Nya.
Hal senada dikemukakan Ibn Katsir bahwa syukur adalah bersyukur dengan mengingat-Nya.
Penafsiran senada dikemukakan Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd Rahman Abi Bakr al-Suyutiy dengan menambahkan bahwa syukur adalah bersyukur atas segala nikmat Rabb yang telah dilimpahkan-Nya pada waktu itu.
Departemen Agama RI juga memaparkan demikian, bahwa syukur adalah bersyukur atas segala nikmat Allah dengan jalan mengingat-Nya dan memikirkan tentang ciptaan-Nya.
2.    Surah Saba, ayat :13
يَعْمَلُونَ لَهُ مَا يَشَاءُ مِنْ مَحَارِيبَ وَتَمَاثِيلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُورٍ رَاسِيَاتٍ اعْمَلُوا آَلَ دَاوُودَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
artinya:
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih”. (QS. Saba: 13).
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyebut-nyebut apa yang pernah Dia anugrahkan kepada Sulaiman as,. Yaitu mereka melaksanakan perintah Sulaiman as untuk membuat istana-istana yang megah dan patung-patung yang beragam tembaga, kaca dan pualam. Juga piring-piring besar yang cukup untuk sepuluh orang dan tetap pada tempatnya, tidak berpindah tempat. Allah berkata kepada mereka “agar mensyukuri-Nya atas segala nikmat yang telah Dia limpahkan kepada kalian”.
Kemudian Dia menyebutkan tentang sebab mereka diperintahkan bersyukur yaitu dikarenakan sedikit dari hamba-hamba-Nya yang patuh sebagai rasa syukur atas nikmat Allah swt dengan menggunakan nikmat tersebut sesuai kehendak-Nya.
Menurut al-Maragi arti kata asy-Syukurdi atas adalah orang yang berusaha untuk bersyukur. Hati dan lidahnya serta seluruh anggota tubuhnya sibuk dengan rasa syukur dalam bentuk pengakuan, keyakinan dan perbuatan. Dan ada pula yang menyatakan asy-syukur adalah orang yang melihat kelemahan dirinya sendiri untuk bersyukur.
Sementara itu Ibn Katsir memberikan arti dari kata asy-syukur adalah berterima kasih atas segala pemberian dari Tuhan yang maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Penafsiran yang senada dikemukakan oleh jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibn Abi Bkar al-Suyutiy dengan menambahkan bahwa rasa syukurnya itu dilakukan dengan taat menjalankan perintah-Nya.
3.    Surah al-Insan, ayat 9
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا
artinya:
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih”. (QS. Al-Insaan: 9)
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah tidak meminta dan mengharapkan dari kalian balasan dan lain-lainnya yang mengurangi pahala, kemudian Allah memperkuat dan menjelaskan lagi bahwa Dia tidak mengharapkan balasan dari Hamba-Nya, dan tidak pula meminta agar kalian berterimakasih kepada-Nya.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa syukur menurut istilah adalah bersykur dan berterima kasih kepada Allah, lega, senang dan menyebut nikmat yang diberikan kepadanya dimana rasa senang, lega itu terwujud pada lisan, hati maupun perbuatan.

2.    Cara mensyukuri nikmat dan karunia Allah.
Rasulullah shollallahu Alaihi Wa Sallam dikenal sebagai abdan syakuura (hamba Allah yang banyak bersyukur). Setiap langkah dan tindakan beliau merupakan perwujudan rasa syukurnya kepada Allah.Suatu ketika Nabi memegang tangan Muadz bin Jabal dengan mesra seraya berkata :
“Hai Muadz, demi Allah sesungguhnya aku amat menyayangimu”. Beliau melanjutkan sabdanya, “Wahai Muadz, aku berpesan, janganlah kamu tinggalkan pada tiap-tiap sehabis shalat berdo’a : Allahumma a’innii `alaa dzikrika wa syukrika wa husni `ibaadatika (Ya Allah,tolonglah aku agar senantiasa ingat kepada-Mu, mensyukuri nikmat-Mu, dan baik dalam beribadat kepada-Mu)”.
Mengapa kita perlu memohon pertolongan Allah dalam berdzikir dan bersyukur ? ., Tanpa pertolongan dan bimbingan Allah amal perbuatan kita akan sia-sia. Sebab kita tidak akan sanggup membalas kebaikan Allah kendati banyak menyebut asma Allah; Menyanjung, memuja dan mengaungkan-Nya. Lagi pula, hakikat syukur bukanlah dalam mengucapkan kalimat tersubut, kendati ucapan tersebut wajib dilakukan sebanyak-banyaknya.
Al Junaid seorang sufi, pernah ditanya tentang Makna (hakikat) syukur. Dia berkata, “Jangan sampai engkau menggunakan nikmat karunia Allah untuk bermaksiat kepada-Nya”.
 Kita taat dengan menggunakan karunia dan izin Allah. Bahkan ketaatan itu sendiri merupakan karunia dan hidayah Allah. Sebaliknya, seseorang yang melakukan maksiat pun sudah pasti dengan menyalahgunakan nikmat Allah dan akibat kesalahannya sendiri.
Ketika kita menerima pemberian Allah kita memuji-Nya, tetapi ini sama sekali belum mewakili kesyukuran kita. Pujian yang indah dan syahdu saja belum cukup, dia baru dikatakan bersyukur bila diwujudkan dalam bentuk amal shaleh yang diridhai Allah.
Abu Hazim Salamah bin Dinar berkata, “Perumpamaan orang yang memuji syukur kepada Allah hanya dengan lidah, namun belum bersyukur dengan ketaatannya, sama halnya dengan orang yang berpakaian hanya mampu menutup kepala dan kakinya, tetapi tidak cukup menutupi seluruh tubuhnya. Apakah pakaian demikian dapat melindungi dari cuaca panas atau dingin ?”
Syukur sejati terungkap dalam seluruh sikap dan perbuatan, dalam amal perbuatan dan kerja Nyata.
Para ulama mengemukakan tiga cara bersyukur kepada Allah.
1.    bersyukur dengan hati nurani. Kata hati alias nurani selalu benar dan jujur. Untuk itu, orang yang bersyukur dengan hati nuraninya sebenarnya tidak akan pernah mengingkari banyaknya nikmat Allah. Dengan detak hati yang paling dalam, kita sebenarnya mampu menyadari seluruh nikmat yang kita peroleh setiap detik hidup kita tidak lain berasal dari Allah. Hanya Allahlah yang mampu menganugerahkan nikmat-Nya.
2.    Bersyukur dengan ucapan. Lidahlah yang biasa melafalkan kata-kata. Ungkapan yang paling baik untuk menyatakan syukur kita kepada Allah adalah hamdalah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, ``Barangsiapa mengucapkan subhana Allah, maka baginya 10 kebaikan. Barangsiapa membaca la ilaha illa Allah, maka baginya 20 kebaikan. Dan, barangsiapa membaca alhamdu li Allah, maka baginya 30 kebaikan.
3.    Bersyukur dengan perbuatan, yang biasanya dilakukan anggota tubuh. Tubuh yang diberikan Allah kepada manusia sebaiknya dipergunakan untuk hal-hal yang positif. Menurut Imam al-Ghazali, ada tujuh anggota tubuh yang harus dimaksimalkan untuk bersyukur. Antara lain, mata, telinga, lidah, tangan, perut, kemaluan, dan kaki. Seluruh anggota ini diciptakan Allah sebagai nikmat-Nya untuk kita. Lidah, misalnya, hanya untuk mengeluarkan kata-kata yang baik, berzikir, dan mengungkapkan nikmat yang kita rasakan. Allah berfirman, ``Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).`` (QS Aldhuha [93]: 11).


3.    Hikmah bagi orang-orang yang mau bersukur
Adapun hikmah bagi orang bersyukur sangat banyak diberikan oleh Allah swt, bahkan Allah sangat mengetahui tanda-tanda orang yang bersyukur. balasan yang diberikan Allah di dunia dan diakhirat. Ada banyak ayat-ayat al-qur’an yang memaparkan tentang apa yang akan diperoleh atau didapatkan bagi orang yang beryukur, diantaranya seperti dalam surat Ali-Imran ayat 144 dan 145 sbb : ‘’ Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah berlalu beberapa orang Rasul. Apakah jika wafat atau terbunuh kamu berbalik kebelakang. Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka tidaklah ia memberi mudarat kepada  Allah sedikitpun, dan Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur. setiap diri tidaklah akan mati kecuali seizin Allah sebagai ketentuan yang telah ditetapkan waktunya. Barang siapa yang menghendaki pahala dunia, Kami akan memberikan itu kepadanya dan barang siapa yang menghendaki pahala diakhirat, Kami berikan pula kepadanya dan Kami akan memberi balasan bagi orang-orang yang bersyukur.’’(Ali-Imran: 144-145) .   ‘’ Barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang tidak bersyukur maka sesungguhnya Allah Maha Kaya Lagi Maha Terpuji.’’ ( Lukman : 12). Ayat ini merupakan Makiyah, tema utamanya adalah mengajarkan ajakan kepada tauhid dan kepercayaan akan niscaya Kiamat serta pelaksanaan prinsip-prinsip dasar agama. Adapun tafsiran ayat-ayat diatas menunjukan al-qur’an yang penuh hikmah dan Muhsin yang menerapkan hikmah dalam kehidupanya, serta orang-orang kafir yang bersikap sangat jauh dari hikmah kebijaksanaan. Dan sesungguhnya Kami Yang Maha Perkasa dan Bijaksana telah menganugerahkan dan mengajarkan juga mengilhami hikmah kepada Lukman,  ‘’ Bersyukurlah Kepada Allah, dan barang siapa yang bersyukur kepada Allah , maka sesungguhnya ia bersyukur untuk kemaslahatan dirinya sendiri, dan barang siapa yang kufur yakni yang tidak bersyukur, maka akan merugi adalah dirinya sendiri. Dia sedikit pun tidak merugikan allah, sebagaimana yang bersyukur tidak menguntungkan-Nya, karena sesungguhnya Allah Maha Kaya tidak butuh kepada apapun, Lagi Maha Terpuji oleh Makhluk di langit dan di bumi.’’ Kata syukur yang berasal dari kata syakara berarti pujian atas kebaikan serta penuhnya sesuatu. Syukur manusia kepada Allah dimulai dengan menyadari dari lubuk hatinya yang terdalam betapa besar nikmat dan anugerah-Nya, disertai dengan ketundukan dan kekaguman yang melahirkan rasa cinta kepada-Nya, dan dorongan untuk memuji-Nya dengan mengfungsikan anugerah yang diterima sesuai dengan tujuan penganugerahnya, ia adalah menggunakan nikmat sebagaimana yang dikehendaki oleh penganugerahnya, sehingga penggunaannya mengarah sekaligus menunjuk penganugerah. Tentu saja untuk maksud ini,yang bersyukur perlu mengenal siapa penganugerahnya (Allah swt) mengetahui nikmat yang dianugerahkan kepadanya, serta fungsi dan cara menggunakan nikmat itu sebagaimana yang dikehendaki-Nya, sehingga yang dianugerahkan nikmat itu benar-benar menggunakan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Peangugerah. Hanya dengan demikian, anugerah dapat berfungsi sekaligus menunjuk kepada Allah, sehingga ini pada giliranya mengantar kepada pujian kepada-Nya yang lahir dari rasa kekaguman atas diri-Nya dan kesyukuran atas anugerah-Nya. Firmannya :usykur lillah adalah hikmah itu sendiri yang  dianugerahkan kepadanya itu. Dari kata ‘’ Bersyukurlah kepada Allah.’’ Sedangkan menurut Al-Biqa’I yang menulis bahwa ‘’Walaupun dari segi redaksional ada kalimat Kami katakana kepadannya, tetapi makna akhirnya adalah Kami anugerahkan kepadanya syukur.’’ Sayyid Qutub menulis bahwa ‘’ Hikmah, kandungan dan konsekuensinya adalah syukur kepada Allah.’’ Bahwa hikmah adalah syukur, karena dengan bersyukur seperti diatas, seseorang mengenal Allah dan mengenal anugerah-Nya. Dengan mengenal Allah seseorang akan kagum dan patuh kepada-Nya, dan dengan mengenal dan mengetahui fungsi anugerah-Nya, seseorang akan memiliki pengetahuan yang benar lalu atas dorongan kesyukuran itu, ia akan melakukan amal yang sesuai dengan pengetahuannya, sehingga amal yang lahir adalah amal yang tepat pula .‘’ Dan tanah yang baik , tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah yang tidak subur, tanaman-tanaman yang tidak subur, tanaman-tanaman hanya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulanngi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.’’ (Al-A’raf : 58)  ‘’(Dan demikianlah telah Kami uji) Kami telah coba (sebagian mereka dengan sebagian lainnya) yakni orang yang mulia dengan orang yang rendah, orang yang kaya dengan orang yang miskin, untuk Kami lombakan siapakah yang berhak paling dahulu keimanan, (supaya mereka berkata: ) orang-orang yang  mulia dan orang-orang kaya yaitu mereka yang ingkar (‘’Orang-orang semacam inikah) yakni orang miskin (diantara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada Mereka???’’) hidayah artinya jika apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang miskin dan orang-orang rendahan itu dinamakan hidayah, niscaya orang-orang mulia dan orang-orang kaya itu tidak akan mampu mendahuluinya.(’’Tidaklah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur (Kepada)Nya.’’) Kepada-Nya, lalu Dia memberikan hidayah kepada mereka. Memang betul. (Al-An’am : 53). Ayat ini termasuk ayat Makiyah. Berdasarkan asbabun nuzul ayat ini diturunkan berkenaan enam orang periwayat tentang Abdullah Ibnu Mas’ud dan empat orang lainnya. Mereka (kaum musyrikin) berkata kepada kepada Rasulullah saw : ‘’Usirlah mereka (yakni para pengikut Nabi) sebab kami merasa malu menjadi pengikutmu seperti mereka.’’ Akhirnya hamper saja Nabi saw terpengaruh oleh permintaan mereka,akan tetapi sebelum terjadi Allah swt menurunkan Firman-Nya : ‘’Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya s/d Firman-Nya : ‘’ Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya) .   ‘’ Dan (ingatlah juga), tatkala tuhan mu mema’lumkan : ‘’ Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepada mu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-ku) maka sesungguhnya azabku sangat pedih.’’ (Ibrahim : 7).
4.    Sebab-sebab kurang bersyukur.
Allah menyebutkan dalam kitab-Nya, bahwa makhluk tidak akan mampu menghitung nikmat-nikmatNya kepada mereka. Allah befirman:

“Dan seandainya kalian menghitung nikmat Alloh, kalian tidak akan (mampu) menghitungnya.” (an-Nahl: 18)
Maknanya, mereka tidak akan mampu bersyukur atas nikmat-nikmat Allah dengan cara yang dituntut. Karena orang yang tidak mampu menghitung nikmat Allah, bagaimana mungkin dia akan mensyukurinya?
Barangkali seorang hamba tidak dikatakan menyepelekan jika dia mengerahkan segenap usahanya untuk bersyukur, dengan mewujudkan ubudiyah (penghambaan) kepada Alloh, Robb semesta alam, sesuai dengan firmanNya,

“Maka bertakwalah kalian kepada Alloh, menurut kemampuan kalian.” (at-Taghobun: 16)
Sikap meremehkan yang kami maksudkan adalah, jika seorang manusia senantiasa berada dalam nikmat Allah siang dan malam, ketika safar maupun mukim, ketika tidur maupun terjaga, kemudian muncul dari perkataan, perbuatan dan keyakinannya sesuatu yang tidak sesuai dengan sikap syukur sama sekali. Sikap peremehan inilah yang kita ingin mengetahui sebagian sebab-sebabnya. Kemudian kita sampaikan obatnya dengan apa yang telah Allah bukakan. Dan taufiq hanyalah di tangan Allah.
Di antara sebab-sebab ini:
1.     Lalai dari nikmat Allah.
Sesungguhnya banyak manusia yang hidup dalam kenikmatan yang besar, baik nikmat yang umum maupun khusus. Akan tetapi dia lalai darinya. Dia tidak mengetahui bahwa dia hidup dalam kenikmatan. Itu karena dia telah terbiasa dengannya dan tumbuh berkembang padanya. Dan dalam hidupnya, dia tidak pernah mendapatkan selain kenikmatan. Sehingga dia menyangka bahwa perkara (hidup) ini memang seperti itu saja. Seorang manusia jika tidak mengenal dan merasakan kenikmatan, bagaimana mungkin dia mensyukurinya? Karena syukur, dibangun di atas pengetahuan terhadap nikmat, mengingatnya dan memahami bahwa itu adalah nikmat pemberian Alloh kepadanya.
Sebagian salaf berkata, “Nikmat dari Alloh untuk hambaNya adalah sesuatu yang majhulah (tidak diketahui). Jika nikmat itu hilang barulah dia diketahui.” [Robii’ul Abror 4/325].Sesungguhnya banyak manusia di zaman kita ini senantiasa berada dalam kenikmatan Allah, mereka memenuhi perut mereka dengan berbagai makanan dan minuman, memakai pakaian yang paling indah, bertutupkan selimut yang paling baik, menunggangi kendaraan yang paling bagus, kemudian mereka berlalu untuk urusan mereka tanpa mengingat-ingat nikmat dan tidak mengetahui hak bagi Allah. Maka mereka seperti binatang, mulutnya menyela-nyela tempat makanan, lalu jika telah kenyang dia pun berlalu darinya. Dan semacam ini pantas bagi binatang.
Jika kenikmatan telah menjadi banyak dengan mengalirnya kebaikan secara terus-menerus dan bermacam-macam, manusia akan lalai dari orang-orang yang tidak mendapatkan nikmat itu. Dia menyangka bahwa orang lain seperti dia, sehingga tidak muncul rasa syukur kepada Pemberi nikmat. Oleh karena itu, Alloh memerintahkan hambaNya untuk mengingat-ingat nikmatNya atas mereka – sebagaimana telah dijelaskan. Karena mengingat-ingat nikmat akan mendorong seseorang untuk mensyukurinya. Allah berfirman:
Yang artinya:
“Dan ingatlah nikmat Alloh padamu, dan apa yang telah diturunkan Alloh kepadamu, yaitu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah). Alloh memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkanNya itu.” (al-Baqarah: 231)


2.    Kebodohan terhadap hakikat nikmat
Sebagian orang tidak mengetahui nikmat, tidak mengenal dan tidak memahami hakikat nikmat. Dia tidak tahu bahwa dirinya berada dalam kenikmatan, karena dia tidak mengetahui hakikat nikmat. Bahkan mungkin dia memandang pemberian nikmat Allah kepadanya sangat sedikit sehingga tidak pantas untuk dikatakan sebagai kenikmatan. Maka orang yang tidak mengetahui nikmat, bahkan bodoh terhadapnya, tidak akan bisa mensyukurinya.
Sesungguhnya ada sebagian manusia yang jika melihat suatu kenikmatan diberikan kepadanya dan juga kepada orang lain, bukan kekhususan untuknya, maka dia tidak bersyukur kepada Allah. Karena dia memandang dirinya tidak berada dalam suatu kenikmatan selama orang lain juga berada pada kenikmatan tersebut. Sehingga banyak orang yang berpaling dari mensyukuri nikmat Allah yang sangat besar pada dirinya yang berupa anggota badan dan indera, dan juga nikmat Allah yang sangat besar pada alam semesta ini.
Ambilah sebagai contoh, nikmatnya penglihatan. Ini merupakan nikmat Allah yang sangat agung yang banyak dilalaikan oleh manusia. Siapakah yang mengetahui kenikmatan ini, memperhatikan haknya dan menyukurinya? Alangkah sedikitnya mereka itu. Seandainya seseorang mengalami kebutaan, lalu Allah mengembalikan penglihatannya dengan suatu sebab yang Allah takdirkan, apakah dia akan memandang penglihatannya pada keadaan yang kedua ini sebagaimana kelalaiannya terhadap yang pertama? Tentu tidak, karena dia telah mengetahui nilai kenikmatan ini setelah dia kehilangan nikmat tersebut. Maka orang ini mungkin akan bersyukur kepada Allah atas nikmat penglihatan ini, akan tetapi dengan cepat dia akan melupakannya. Dan ini adalah puncak kebodohan, karena rasa syukurnya bergantung kepada hilang dan kembalinya nikmat tersebut. Padahal sesuatu (kenikmatan) yang langgeng lebih berhak disyukuri dari pada (kenikmatan) yang kadang-kadang terputus. [Lihat Mukhtashor Minhajil Qoshidin, hlm 288].
3.    Pandangan sebagian manusia kepada orang yang berada di atasnya
Jika seorang manusia melihat kepada orang yang diatasnya, yaitu orang-orang yang diberi kelebihan atasnya, dia akan meremehkan karunia yang Allah berikan kepadanya. Sehingga dia pun kurang dalam melaksanakan kewajiban syukur. Karena dia melihat bahwa apa yang diberikan kepadanya adalah sedikit, sehingga dia meminta tambahan untuk bisa menyusul atau mendekati orang yang berada diatasnya. Dan ini ada pada kebanyakan manusia. Hatinya sibuk dan badannya letih dalam berusaha untuk menyusul orang-orang yang telah diberi kelebihan atasnya berupa harta dunia. Sehingga keinginannya hanyalah untuk mengumpulkan dunia. Dia lalai dari bersyukur dan melaksanakan kewajiban ibadah, yang sebenarnya dia diciptakan untuk hal tersebut (ibadah).
Telah datang suatu hadits dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang diberi kelebihan atasnya dalam masalah harta dan penciptaan, hendaknya dia melihat kepada orang yang lebih rendah darinya, yang dia telah diberi kelebihan atasnya.” [Riwayat Muslim (2963) dan lihat Jami’ul Ushul (10/142)]
4.     Melupakan masa lalu
Di antara manusia ada yang pernah melewati kehidupan yang menyusahkan dan sempit. Dia hidup pada masa-masa yang menegangkan dan penuh rasa takut, baik dalam masalah harta, penghidupan atau tempat tinggal. Dan tatkala Allah memberikan kenikmatan dan karunia kepadanya, dia enggan untuk membandingkan antara masa lalunya dengan kehidupannya sekarang agar menjadi jelas baginya karunia Robb atasnya. Barangkali hal itu akan membantunya untuk mensyukuri nikmat-nikmat itu. Akan tetapi dia telah tenggelam dalam nikmat-nikmat Allah yang sekarang dan telah melupakan keadaannya terdahulu. Oleh karena itu engkau lihat banyak orang yang telah hidup dalam kemisinan pada masa-masanya yang telah lalu, namun mereka kurang bersyukur dengan keadaan mereka yang engkau lihat sekarang ini.
Setiap manusia wajib untuk mengambil pelajaran dari kisah yang ada dalam hadits shohih [Hadits panjang dari Abu Huroiroh, “Sesungguhnya ada tiga orang dari kalangan Bani Isroil, orang yang punya penyakit kusta, orang yang botak dan orang yang buta...” diriwayatkan oleh al-Bukhori (3277) dan Muslim (2946)] (yang maknanya).
Sesungguhnya ada tiga orang dari kalangan Bani Isroil yang ingin Alloh uji. Mereka adalah orang yang punya penyakit kusta, orang yang botak dan orang yang buta. Maka ujian itu menampakkan hakikat mereka yang telah Allah ketahui sebelum menciptakan mereka. Adapun orang yang buta, maka dia mengakui pemberian nikmat Allah kepadanya, mengakui bahwa dahulu dia adalah seorang yang buta lagi miskin, lalu Allah memberikan penglihatan dan kekayaan kepadanya. Dia pun memberikan apa yang diminta oleh pengemis, sebagai bentuk syukur kepada Allah. Adapun orang yang botak dan orang yang berpenyakit kusta, mereka mengingkari kemiskinan dan buruknya keadaan mereka sebelum itu. Keduanya berkata tentang kekayaan itu, ‘Sesungguhnya aku mendapatkannya dari keturunan.
Inilah keadaan kebanyakan manusia. Tidak mengakui keadaannya terdahulu berupa kekurangan, kebodohan, kemiskinan dan dosa-dosa, (tidak mengakui) bahwasanya Allah lah yang memindahkan dia dari keadaannya semula kepada kebalikannya, dan memberikan kenikmatan ter
sebut.
















BAB III
1.     Kesimpulan
Kaum muslimin dan muslimat, semoga kita benar-benar akan menjalani semaua dengan niat di jalan Allah ta’ala. Dengan demikian kita akan menjadi orang-orang yang beriman dengan cara yang benar dan mendalami apa itu islam yang sebenar nya. Dan juga meyakini dengan benar dan cara yang di ridhai Allah SWT. Pembahasan ini mengajar kan bagaimana cara kita menjadi orang yang ada di Jalan Allah Ta’ala.



2.     Saran
·        Saudaraku sekalian, demikian berharganya diri kita dalam pandangan Allah, Rasulullah pun akan bangga karena kita menjadi umatnya, bila kita memahami makna dan tujuan dari sifat Ikhlas, Sabar, Ridha, dan Syukur. Apalagi bila setelah kita paham, kita tekun belajar untuk menjadikannya sebagai sifat-sifat diri kita.
·        Tak ada yang mustahil untuk mendapatkan keenam sifat ini. Atas bantuan dan pertolongan dari Allah, ketekunan belajar untuk memahami dan melaksanakannya, kita pasti bisa memiliki keempat sifat ini sebagai perhiasan diri hidup di dunia. Insya Allah.










Daftar Pustaka
Fath Al-Bari 1/127-128, Saat Menerangkan Bab Ke-39 Dari Kitab Al-Iman.
Hr. Al-Bukhari, Kitab Al-Iman, No. 52, Dan Muslim, Kitab Al-Musaqah, No. 1599 Http://Al--Kisah.Blogspot.Com/2008/04/Wara-Para-Sufi.Html
Hafidudin,Didin.2005.Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi.Syaamil.Bandung
 Azra, Azyumardi. 2008. Kajian Tematik Al-Qur’an tentang Ketuhanan. Angkasa. Bandung.